OLeh: Dr. Eddi Suprayitno, SE., MM.
Modal intelektual kini dirujuk sebagai faktor penyebab sukses yang penting dan karenanya akan semakin menjadi suatu pumpunan perhatian dalam kajian strategi organisasi dan strategi pembangunan. Penyimpulan seperti ini dibasiskan di atas temuan-temuan tentang kinerja organisasi-organisasi, khususnya organisasi-organisasi yang padat pengetahuan (knowledge-intensive organizations) (e.g. lihat Bounfour and Edvinsson 2005; Lonnqvist dan Mettanen). Namun, pengalaman-pengalaman pada aras mikro organisasi ini kini juga mulai ditransfer pada konteks kemasyarakatan atau pembangunan pada umumnya. Tema inilah yang diangkat oleh Bounfour dan Edvinsson dalam Intellectual Capital for Communities (2005).
Menyikapi mengapa modal intelektual didudukkan di tempat strategis dalam konteks kinerja atau kemajuan suatu organisasi atau masyarakat, mungkin pertama dapat kita rujuk dari fenomena pergeseran tipe masyarakat dari masyarakat industrialis dan jasa ke masyarakat pengetahuan. Drucker  (1997, 2001) misalnya meramalkan datangnya dan sekaligus mendeskripsikan pergeseran ke arah era masyarakat pengetahuan (knowledge society) ini dalam bukunya Manajemen di Tengah Perubahan Besar. Dalam masyarakat tipe ini, pengetahuan, juga kapabilitas untuk belajar (learning capability), dan tindakan berinvestasi untuk maksud membangun basis-basis intelektual merupakan penggerak perubahan yang cepat dalam masyarakat dan karenanya manusia sebagai pekerja pengetahuan (knowledge worker) menjadi aktor utamanya. Vitalnya kedudukan pengetahuan dalam masyarakat baru ini telah disuarakan juga oleh Alfred Marshall dengan mengatakan bahwa pengetahuan adalah mesin produksi yang paling powerful (dalam Bontis 2005).
Konteks ’revolusi pengetahuan’ (Auber 2005) seperti itu, terjadi juga pergeseran model perekonomian ke arah ekonomi pengetahuan (knowledge economy) (Bounfour dan Edvinsson 2005, Aubert 2005) atau ekonomi pembelajaran (learning economy) (Lundvall 1996). Perekonomian yang ber- atau dicirikan pengetahuan memiliki tiga plus satu karakteristik kunci, yakni 1) riset dan pendidikan, 2) relasi ke pertumbuhan, dan 3) pembelajaran dan kapabilitas, serta 4) pentingnya perubahan, dominasi struktur yang (lebih) datar, dan modal sosial. Bank Dunia juga telah memulai program yang disebut sebagai Knowledge for Development untuk mendorong perkembangan negara-negara ke arah knowledge economy.
Kedua, pada tataran mikro perusahaan, tampaknya agak sulit untuk tidak menyertakan atau mengaitkan perkembangan ini di dalam konteks persaingan dan pencarian basis keunggulan kompetitif. Wacana kompetisi dan keunggulan bersaing mengalami pergeseran yang sangat signifikan dalam perkembangan kajian strategi bisnis dan pembangunan ekonomi. Mulanya dikenal teori keunggulan absolut dan keunggulan komparatif dalam konteks interaksi perdagangan atau perekonomian antar wilayah atau internasional. Kemudian muncul pemikiran brilian dari Michael Porter tentang keunggulan bersaing (competitive advantage) di era 1980an. Namun, pandangan Porter kemudian dianggap tidak mampu menjelaskan secara komprehensif fenomena keunggulan sebuah organisasi atau negara dari lainnya. Belakangan muncul aliran baru dalam analisis keunggulan bersaing yang dikenal dengan pendekatan berbasis sumber daya (resource-based view of the firm/RBV). Pandangan terakhir ini saya nilai sebagai yang relevan dalam konteks perekonomian yang kuat dicirikan oleh keunggulan pengetahuan (knowledge/learning economy) atau perekonomian yang mengandalkan aset-aset tak-wujud (intangible assets).
Fenomena kedua ini (konteks persaingan dan keunggulan bersaing) dapat dimengerti ketika setiap organisasi berupaya mencari strategi bersaing dan basis daya saing yang tepat untuk unggul. Konsep strategi itu sendiri, seperti didefinisikan Barney (2007), adalah berkaitan dengan teori sebuah organisasi tentang bagaimana ia berkinerja tinggi dan unggul di dalam bidang bisnisnya.
Dalam wacana pencarian cara untuk unggul (baca: strategi), maka terjadi pergeseran pandangan dalam memahami strategi. Jika pada model yang dikembangkan Porter atau disebut pendekatan organisasi industri/OI, strategi adalah semata soal pemosisian di pasar. maka kelompok RBV menilai bahwa nilai ekonomis dan keunggulan kompetitif sebuah organisasi ekonomi terletak pada kepemilikan dan pemanfaatan secara efektif sumber daya organisasi yang mampu menambah nilai (valuable), bersifat jarang dimiliki (rare/scarce/unique), sulit untuk ditiru (imperfectly immitable/hard to copy), dan tidak tergantikan oleh sumber daya lain (non-substitutable) (Barney 1991, 2001, 2007; Lewin and Phelan 1999; Wright, McMahan, dan McWilliams 1992). Oleh karena itu, strategi bersaing harus diletakkan pada upaya-upaya mencari, mendapatkan, mengembangkan, dan memertahankan sumber daya-sumber daya strategis. Dua sumber daya strategis yang dimaksud adalah manusia (modal manusia) dan organisasi(organizational capital). Dalam istilah yang berbeda, kita lalu dapat menyandingkannya dengan konsep modal intelektual.
Pada intinya, terjadi perubahan-perubahan signifikan dalam lingkungan sekitar organisasi yang kemudian telah mendorong makin relevannya pembicaraan mengenai modal intelektual. Oleh karena itu, tulisan ini dibuat untuk membahas sejumlah hal di seputar konsep model intelektual ini untuk membangun pemahaman dan cara pandang terhadapnya, di samping untuk mendorong diskursus yang lebih jauh atasnya, termasuk untuk menstimulasi baik riset maupun formulasi strategi dan kebijakan yang relevan.
Dari kepentingan itu, tulisan ini disusun dengan memuat beberapa hal. Pertama, mengingat konsep modal intelektual cenderung baru, maka perlu dicari makna/definisi yang cenderung dapat kita terima untuk memahamimnya dengan lebih baik. Kedua, sebagai sebuah konsep, maka modal intelektual tersusun atas sejumlah komponen pembentuk yang oleh karenanya perlu dipetakan apa saja komponen-komponen pembentuk yang dimaksud. Ketiga, jika modal intelektual merupakan faktor penentu kinerja dan keunggulan yang penting bagi organisasi dan masyarakat, maka salah satu persoalan vital yang muncul kemudian adalah bagaimana mengukurnya. Isu pengukuran modal intelektual masih merupakan wacana yang terus berkembang dan karenanya perlu diidentifikasi metode-metode pengukuran modal intelektual yang telah dikembangkan.
Terakhir, tulisan ini berupaya untuk menarik sejumlah implikasi penting dalam rangka mengembangkan riset di bidang ini serta potensi aplikasinya melalui pengembangan strategi dan kebijakan yang penad, bagi organisasi dan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H