Tiga hari yang lalu penulis "dicurhati" oleh seorang ibu yang anaknya dikeluarkan dari sekolahnya. Dari cerita sang ibu anaknya memang terkenal anak yang jahil dan memiliki kecenderungan mencari perhatian dan terkadang suka membolos. anak tersebut katanya sudah diberitahu berulang kali oleh wali kelas, guru BK bahkan waka kesiswaan mengenai tingkah lakunya yang melanggar peraturan sekolah. Bahkan kalau dihitung poin pelanggarannya anak tersebut sudah berada pada titik "kritis". Kemudian ibu yang curhat kepada penulis melanjutkan kalau anaknya memiliki prestasi di bidang sepakbola, bahkan sering mewakili sekolah mengikuti turnamen sepak bola yang tidak jarang juga mengharumkan nama sekolahnya.
Menurut penuturan ibu tadi, anak tersebut disarankan untuk pindah sekolah yang direkomendasikan oleh kepala sekolahnya.Dan celakanya sekolah yang direkomendasikan untuk anaknya bukan sekolah yang diharapkan oleh orang tua. Itulah sekolas gambaran curhat sang ibu yang anaknya dikeluarkan dari sekolah. Karena penulis hanya sebagai pendengar dan pihak ketiga disini, penulis hanya menyarankan kepada ibu tadi untuk:
1. menguatkan anaknya agar tetap optimis bahwa dimanapun ia bersekolah, kesempatan untuk menjadi
pelajar yang berprestasi tetap terbuka.
2. Agar meminta penjelasan kepada pihak sekolah untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya
mengenai kronologi mengapa anaknya bisa dikeluarkan, yaitu sebuah catatan anak tersebut di sekolah.
apakah selama ini anaknya sudah mendapatkan bimbingan yang proporsional sesuai prosedur (yaitu
teguran, mediasi dan komunikasi antara orang tua, guru dan anak didiknya)
Poin yang ingin penulis share disini adalah apakah anak yang dianggap bermasalah perlu dikeluarkan dari sekolah? selama ini ada anggapan dalam pendidik kita "bila ada anak didik yang tidak bisa dibina, ya sekalian dibinasakan saja", "bila ada virus dalam tubuh, maka virus tersebut perlu dikeluarkan dari tubuh", "untuk menjaga nama baik sekolah, maka anak yang bermasalah dan berpotensi mencemarkan nama baik sekolah sebaiknya dipindahkan saja"...itulah beberapa adagium yang berkembang di lingkungan pendidikan kita.Menurut pendapat Prof. Dr. S. Nasution dalam bukunya ‘Sosiologi Pendidikan’. bahwa fungsi sekolah antara lain:
1. Sekolah mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan.
2. Sekolah memberikan keterampilan dasar.
3. Sekolah membuka kesempatan memperbaiki nasib
4. Sekolah menyediakan tenaga pembangunan.
5. Sekolah membantu memecahkan masalah-masalah sosial.
6. Sekolah mentransmisi kebudayaan.
7. Sekolah membentuk manusia yang sosial.
8. Sekolah merupakan alat mentransformasi kebudayaan; dan
9. Fungsi-fungsi laten lainnya seperti sebagai tempat menitipkan anak, mendapatkan jodoh, dan sebagainya.
Jadi singkatnya beberapa fungsi pendidikan yang telah dijabarkan di atas sebenarnya dapat dirangkum menjadi fungsi sekolah sebagai alat mobilitas sosial, fungsi sekolah sebagai alat sosialisasi, fungsi sekolah sebagai alat kontrol dan integrasi sosial, dan yang paling utama adalah fungsi manifest adalah pendidikan intelektual, yakni “mengisi otak” anak dengan berbagai macam pengetahuan. Sekolah dalam realitasnya masih mengutamakan latihan mental-formal, yaitu suatu tugas yang pada umumnya tidak dapat dipenuhi oleh keluarga atau lembaga lain, oleh sebab itu sekolah memerlukan tenaga khusus yang dipersiapkan untuk itu, yakni guru.
Nah, dalam hal ini guru memiliki peran penting sebagai mediator dan lokomotif "Sebagai Alat Integrasi dan Pelopor Perubahan", maka sepatutnya Guru dituntut untuk menempatkan anak didik sesuai dengan dunianya, yaitu dunia anak-anak. Menurut Kak Seto (Seto Mulyadi) di edukasi.kompasiana.com, bahwa anak merupakan individu yang unik, yang mana satu sama lain memiliki potensi yang berbeda. Agar dapat mengoptimalkan perkembangan kecerdasan anak, selain memahami bahwa anak merupakan individu yang unik, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan upaya memahami dan lebih mengenal dunia anak, sebagai berikut;
- Bahwa anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil yang mana mereka memiliki dunia sendiri yang khas dan harus dilihat dengan kacamata anak-anak. Jadi dalam menghadapinya memang dibutuhkan kesabaran, pengertian, dan toleransi yang mendalam.
- Dunia anak-anak adalah dunia bermain, yaitu dunia yang penuh semangat apabila terkait dengan suasana yang menyenangkan
- Selain tumbuh secara fisik, anak juga berkembang secara psikologis
- Setiap anak pada dasarnya senang meniru, karena salah satu proses pembentukan tingkah laku mereka diperoleh dengan cara meniru. Dengan demikian orangtua atau guru dituntut untuk bisa memberikan contoh-contoh keteladanan yang nyata akan hal-hal yang baik.
- Pada dasarnya anak-anak itu adalah kreatif, karena mereka banyak memiliki rasa ingin tahu dan berimajinasi tinggi. Disamping itu, anak-anak yang dihargai cenderung terhindar dari berbagai masalah psikologis serta anak akan tumbuh dan berkembang secara optimamal.
Selanjutnya, problem yang muncul dalam mendidik anak adalah anak yang masuk kategori nakal, dimana anak nakal ini dianggap sebagai benalu yang bisa mencemari anak-anak lain dan dianggap pula sebagai "pengganggu stabilitas keamanan sekolah". karena anak nakal ini dianggap tidak cocok untuk dididik di sekolah dimana anak tersebut melaksanakan proses kegiatan belajar sehari-hari.
Dari sudut pandang Psikologi, nakal hanyalah sebuah definisi orang dewasa terhadap anak kecil. Rasa ingin tahu yang begitu besar karena perkembangan pesat otaknya membuat anak ingin memuaskan rasa ingin tahunya berlebihan. Sehingga anak terus-menerus mencoba, menyentuh, tak bisa diam, bereksplorasi sebagai tindakan rasa ingin tahunya.
Walaupun anak mempunyai rentang waktu perhatian begitu pendek dibandingkan dengan orang dewasa, tapi dalam keadaan tertentu anak terkadang perhatiannya menjadi lebih panjang ketika bertemu dengan sesuatu yang menjadi daya tariknya. Ada yang bilang ini adalah satu indikator untuk melihat minat, bakat dan kemampuan anak.
Menurut penulis, anak nakal lebih tepat di dikatakan eksploratif, sifat yang mungkin tak bisa diam, sifat yang ingin menyentuh apa saja, sifat yang kadang mengganggu siapa saja, sifat yang ingin mencoba apa saja, sifat yang tidak bisa diatur……Jadi bayangkan kalau ada anak yang masih dalam pertumbuhan emasnya tidak mengalami hal seperti ini, bisa jadi justru sebaliknya. Artinya bisa jadi pertumbuhan otaknya tak sepesat anak yang aktif/eksploratif.
Mario Teguh dalam sebuah ceramah motivasinya mengungkapkan nakal bukanlah hal negatif, berbeda dengan KRIMINAL. Karena anak belum mengenal secara utuh apa itu kriminal. Yang menariknya lagi pada akhir kalimat “Anak nakal memiliki bahan dasar pembentuk pemimpin besar”. Wow…sebuah pernyataan yang sangat tidak bisa diterima oleh common sense. Mana ada anak nakal bisa jadi pemimpin besar, nakal ya nakal.
Piaget bersama dengan Alfred Binet dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kemampuan kognitif anak tidak jauh berbeda dengan orang dewasa bahkan bisa lebih, yang membedakan adalah hanya cara berpikirnya. Piaget mengatakan bahwa anak-anak itu seperti “ilmuwan kecil” yang berusaha memahami dunia dengan caranya, bukan hanya belajar dengan menyerap informasi secara pasif.
dalam konteks mendidik anak terutama di sekolah guru perlu betul-betul memahami dunia anak, usia psikologi anak dan perkembangan anak dari satu fase menuju fase berikutnya.
Dalam konteks mengeluarkan anak didik memang menjadi sebuah dilema, karena sekolah memiliki aturan yang disebut tata tertib untuk anak didik dan berbagai pertimbangan lain. bila dilihat dari sudut pandang peraturan sekolah, ada beberapa poin yang bisa penulis sampaikan.
Pertama-tama, tentu sekolah wajib memiliki tata tertib yang mengatur warga sekolah termasuk siswa. Apa saja yang dilarang, bagaimana bentuk sanksinya, dan lain-lain. Sekolah juga wajib memiliki petugas yang menangani masalah siswa secara khusus, biasanya tim tata tertib guru BK yang berkoordinasi dengan waka kesiswaan. Setiap masalah siswa dikomunikasikan kepada guru terkait, misalnya wali kelas, dan orang tua. Yang terbaik adalah orang tua hadir ke sekolah, atau guru datang ke rumah orang tua siswa dan mengomunikasikan masalah siswa.
Dalam tata tertib tersebut harus mengakomodasi “masalah” siswa sampai titik toleransi tertinggi. Artinya ada tahapan-tahapan pembinaan yang dilakukan oleh sekolah untuk membina siswa secara optimal dan maksimal, dengan rentang waktu yang tertentu dan semuanya didokumentasikan secara tertulis.
Sekolah perlu memperhatikan berbagai sanksi untuk mendidik siswa, bukan hanya sanksi punishment saja. Jika seluruh tahapan sudah dilalui, tetapi harapan agar siswa mau berubah belum terwujud, maka tak ada salahnya sekolah mengembalikan siswa kepada orang tua mereka, tentu dengan memberikan bantuan, ke sekolah mana mereka dapat pindah, agar tidak putus sekolah.
Itulah yang selama ini menjadi pertimbangan sekolah terkait mengeluarkan anak didik dari sekolah. Jadi menurut penulis sekolah merupakan sebuah taman tempat anak menempa dan menemukan dunianya untuk berproses menjadi manusia yang paripurna, dalam hal ini guru hendaknya mampu melihat anak sebagai sebuah entitas yang masih berproses dan senantiasa berproses maka perlu pendampingan dan bimbingan yang tiada henti dengan penuh ketlatenan dan kesabaran.
Perlu dipertimbangkan lebih jauh untuk mengeluarkan anak didik, karena dampakanak yang dikeluarkan dalam tatanan masyarakat tidaklah sederhana. Orang tua dan lingkungan juga mendapat "cap" dari dampak anak yang dikeluarkan tersebut.
"Mendidik anak disekolah bisa diibaratkan bila kita ingin menempatkan ikan laut dalam aquarium. Ikan laut dapat berkembang dengan baik bila kondisi lingkungan yang kita ciptakan yaitu Aquarium sesuai dengan kondisi laut dimana tempat ikan tersebut berasal, bukan memaksa ikan laut
mengikuti keinginan sang pemilik aquarium"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H