Dapur ini memang kental dengan suasana desa. Beralaskan tanah. Tungku kayu di pojok rumah yang mengepulkan asapnya. Udara yang bercampur asap dan aroma masakan. Serta gadis ia berkepang dua dengan setelan sederhana mondar mandir mempersiapkan segalanya.
"Bud, terimakasih ya." Wati menatap pergelangan tanganku.
"Terimakasih untuk apa? Harusnya aku yang berterimakasih padamu. Sebab kamu sudah mau menampung kami bermalam di sini." Aku sedikit heran dengan ucapan Wati barusan.
"Terimakasih kamu sudah mau menjaga gelang itu."
Aku pun melihat gelang hitam dari benang yang diikatkan Wati di tanganku sebelum acara bersih Kampung waktu itu. Gelang itu tetap ada di pergelangan tanganku. Kujaga memang. Amanah Wati untukku waktu itu. Dan aku senang jika Wati bahagia karena itu.
"Bud, benar kamu nggak masuk ke hutan malam tadi?" Wati menatapku.
Aku jadi salah tingkah. Aku lelaki yang tahan banting. Tapi untuk urusan tatapan wanita, aku kalah.
"Iya, beneran." Jawabku dengan tegas agar Wati benar benar yakin.
"Jadi, kotor di celanamu itu dari mana?"
"Oh... kamu masih mempermasalahkan kotoran ini." Aku tunjuk bagian celana kotor sambil pasang muka cemberut.
"Nggak boleh?"