Aku ketuk pintu rumah sederhana itu setiap hari. Namun tak pernah terdengar derit pintu terbuka lalu mepersilahkanku bertamu. Ada apa denganmu? Apakah aku terlalu mengganggumu? Sampai kau tega tak ingin menyambutku. Meski hanya untuk sekedar menyapamu. Tak bisakah kau sediakan waktu sekejap saja untuk bersamaku?
Atau kau takut aku membangunkan puisimu yang kudengar sedang tak sehat karena tak bisa terlelap semalaman suntuk itu. Mungkin karena batuk yang selalu kudengar dendangnya di setiap malamku. Mengapa tak minum obat racikanku? Agar ketenangan merangkul diksinya. Hingga puisimu dapat terlelap tanpa terganggu saat aku sedang bertamu.
Aku tahu puisimu tak juga terlalu muda untuk tak suka obat atau pun jamu. Tapi mulut kecil itu akan selalu tersiksa jika tak kau suapi obat dariku. Kalau terlalu besar, bukankah dapat kau bagi biar lebih kecil. Atau bila perlu, kau hancurkan saja sekalian celotehku, biar bubuknya dapat kau susupi ke dalam mulut mungil puisimu.
Aku tak sedang berpolitik apalagi menandingi birokrasi yang terlalu berbelit-belit. Aku juga bukan pejabat pemerintah yang menenteng pangkat kemana-mana. Aku hanyalah tamu yang selalu melepas sandal sebelum melewati pintu itu. Aku hanya ingin menyuapi puisimu. Menggantikan peran pengasuh tua itu. Agar puisimu tak lagi merana. Jadi... bersikaplah lunak padaku. Aku tak seburuk pandanganmu.
Salam hangat salam literasi😊🙏
Love and peace😁✌️
EcyEcy; Benuo Taka, 15 Juni 2019.
Terinspirasi dari puisi "Tamu" karya Bryan Jati Pratama
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI