Saya ada di kota Bandung untuk beberapa hari. Makan siang di sebuah restoran bersama dengan teman-teman. Usai makan, kami beranjak ke luar, berdiri menunggu yang lain di samping bus. Kami pun bercakap-cakap tentang enaknya makanan di restoran Bandung ini. Tanpa disengaja, kulihat dua orang anak perempuan berjongkok tepat di sebelahku. Rupanya mereka sudah ada di situ sebelum kami datang. Kulirik mereka. Wajah mereka tampak polos, polos sekali. Usia mereka kira-kira 12-13 tahun. Salah satu dari mereka membawa gitar. Saya sudah bisa tebak, mereka berdua pasti pengamen.
“Dik, ayo dong nyanyi, “ ujar saya.
“Nyanyi lagu apa Pak?” tanya salah seorang dari mereka.
“Nyanyi lagu apa sajalah, yang penting bagus,” jawab saya sekenanya.
Lalu mereka berdua bersepakat menyanyikan sebuah lagu yang cukup terkenal sambil memetik gitar dengan tiga tali senar! Saya tak tahu persis siapa penyanyi asli lagu itu dan apa pula judulnya. Tapi, lagu itu sudah sering saya dengar. Kedua anak itupun menyanyikan lagu itu dengan demikian baiknya. Tak ada suara sumbang. Dua suara terpadu kompak, kompak sekali.
Usai menyanyikan satu lagu, teman saya di sebelah berujar, “Suaramu bagus. Ayo dong nyanyi satu lagu lagi,” pintanya. Kedua anak itu pun kembali berembuk singkat lagu apa yang akan dibawakan. Lalu, mereka melantunkan sebuah lagu tentang kehidupan yang berat dan tidak bersahabat. Lagu itu terdengar sangat indah, merasuk jauh ke dalam kalbu. Saya masih tetap terdiam menikmati lagu itu. Sesekali saya pandangi kedua anak gadis itu. Dalam hati saya berpikir, bagaimana dengan masa depan anak-anak ini, anak-anak seperti ini?
“Mengapa adik mengamen?,” saya mulai bertanya lebih jauh.
“Ya, Pak, saya mengamen untuk keluarga,” jawab keduanya hampir serempak. Yang bertubuh lebih kurus melanjutkan bahwa orang tuanya sudah bercerai 2 tahun lalu. Ibunya tidak bekerja. Ia pun harus mencari uang untuk menghidupi keluarganya. Gadis yang satunya lagi juga berucap hal yang hampir sama. Sama-sama dari keluarga broken home.
“Adik tidak sekolah?” tanya saya.
“Tidak Pak, saya tak bisa lagi sekolah. Kelas 4 SD saya keluar dari sekolah. Saya harus bekerja untuk keluarga,” ujarnya. Saya sangat terharu oleh penuturan kedua gadis kecil ini. Ke mana perginya kepedulian sesama? Ke mana perginya pemerintah? Ke mana perginya hati nurani? Mendengar kata-kata mereka yang polos dan sangat bersahaja, hati saya jadi sangat tersentuh? Hampir saja air mata saya tumpah saat itu. Kalau hal itu sampai terjadi, malu rasanya dilihat teman-teman. Dalam hati saya berkata, “Tuhan, tolonglah anak-anak ini. Bantulah mereka agar selamat dari marabahaya dan tunjukkan jalan yang terbaik untuknya.”
Saya melambaikan tangan kepada teman-teman yang baru saja usai makan agar mendekat dan menikmati nyanyian kedua anak gadis kecil ini. Setelah dua nyanyian selesai, satu demi satu teman merogoh dompet, memberikan uang untuk mereka berdua. Kami semua berbagi dengan ikhlas untuk mereka.
Kami harus berangkat. Saya pun melambaikan tangan kepada kedua gadis itu. Dari dalam bus, saya perhatikan senyum kedua anak itu mengembang. Saya yakin mereka berdua gembira hari ini karena lumayan banyak rejeki yang didapat. Bus pun mulai bergerak, dan saya sungguh merasa bahagia dengan memberi.
( I Ketut Suweca , 27 April 2013).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H