Terjadi pemuatan naskah yang samadari satu orang penulis di dua koran. Hari terbitnya sama, kalau pun berbeda, pergeserannya sedikit saja. Begitulah yang terjadi, sebagaimana dituturkan seorang sahabat di kompasiana. Mengapa kok bisa begitu? Siapa yang bersalah? Bagaimana solusinya? Mari kita coba melihat dari dua sisi, yakni dari sisi sang penulis dan media yang memuatnya.
Dilihat dari Dua Sisi
Pertama, dari sisi penulis. Ada dua tipe penulis dalam hal ini. Ada penulis yang melulu mengutamakan besaran honor yang akan diterima dan/atau popularitas. Tipe ini tak akan peduli dengan tulisan ganda seperti itu. Bahkan dia senang kalau hal itu terjadi, karena itu berarti ia akan mendapatkan dua honorarium sekaligus dari media yang berbeda. Di samping itu, dengan cara begini, namanya bakal cepat popular(?). Persetan pemuatan secara bersamaan. Bisa saja orang seperti ini berkelit, toh pembaca masing-masing media berbeda. Pembaca di media A, misalnya, kemungkinan besar berbeda dengan pembaca di media B. Jadi, nggak ada salahnya kalau naskah yang sama dia kirim ke dua media yang berbeda sekaligus. Jangan tanya soal etis tidaknya.
Selain itu, ada pula lantaran ketidaksengajaan. Si penulis sudah menunggu respoins dari media pertama yang dikiriminya. Tapi, artikelnya tidak kunjung dimuat dan tidak ada kabar sama sekali. Selama seminggu dia menanti guna memastikan artikelnya akan dimuat atau tidak. Tapi, Redaksi media tersebut tak memberikan jawaban sama sekali, baik melalui telepon , email atau surat. Akhirnya, karena tidak sabaran, dikirimnyalah artikel yang sama ke media lain. Apa yang terjadi kemudian? Di media pertama ternyata tulisannya dimuat setelah dua minggu dan di media belakangan ternyata dimuat 3 hari setelah dikirim via email. Bah, pemuatannya nyaris berbarengan! Tentu saja ada rasa bersalah pada sang penulis.
Kedua, dari sisi media. Apa ruginya dua media yang ‘kebetulan’ memuat artikel yang sama?Yang memuat tulisan itu pertama sih mungkin nggak terlalu memasalahkannya. Yang memuat belakangan pasti akan merasa kecolongan. Redaksi pada umumnya akan tersinggung berat dengan tipe penulis seperti ini. Boleh jadi sang penulis akan kena black list. Kalau sudah begitu, artikel berikut dari penulis bersangkutan tak bakal mau dimuat lagi di media merasa telah ‘dicurangi’. Tergantung juga kepada kebijakan internal keredaksiaan melihat persoalan ini.
Oleh karena itu, memang sebaiknya para awak media juga membaca koran cetak atau website media lain sebagai upaya kontrol. Biasanya setiap media cetak mempunyai bentuk online-nya. Dari situ, awak media akan tahu apakah sebuah tulisan sudah pernah dimuat di media lain atau belum. Tapi, pekerjaan ini sungguh menambah beban di tengah-tengah kesibukan yang padat.
Jeda atau Pemberitahuan
Ada sedikit solusi yang bisa dipertimbangkan, baik oleh si penulis maupun awak media (redaksi). Pertama, para penulis sebaiknya memberikan jeda waktu tertentu sebelum mengirimkan naskah yang sama ke media lain. Untuk koran harian, perlu waktu 10 hari. Ini hanya dari pengalaman penulis. Tidak ada ketentuan waktu yang pasti. Setelah itu, jika tak dimuat, silakan dikirim ke media lain. Hal ini dilakukan sepanjang belum ada pemberitahuan dari media pertama. Mungkin karena banyaknya pekerjaan keredaksian, awak media pada umumnya tidak memberitahukan rencana pemuatan suatu naskah. Dengan jeda 10 hari, diharapkan sudah cukup waktu untuk menunggu.
Kedua, media yang dikirimi naskah seyogianya memberi kepastian apakah sebuah naskah yang diterima akan dimuat atau tidak. Pemberitahuan itu cukup melalui email. Waktunya, sebelum 10 hari sejak naskah diterima. Dengan demikian, si penulis akan bisa dengan segera mengambil keputusan, termasuk mengambil ancang-ancang hendak dikirim ke mana lagi tulisannya jika di media pertama tidak dimuat. Dengan jalan ini, nggak ada yang complain.
Selamat menulis.
( I Ketut Suweca , 2 September 2012).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H