Baru-baru ini, di sebuah koran nasional, Boediono, Wakil Presiden RI, menulis topic yang menarik seputar pendidikan. Di bawah judul "Pendidikan Kunci Kemajuan" beliau memaparkan secara detail tentang problem kurikulum pendidikan di Indonesia dus tujuan pendidikan. Pada pokoknya dipaparkan bahwa kini para siswa yang menjalani proses pendidikan dibebani oleh mata pelajaran yang terlalu banyak. Yang menjadi pertanyaannya adalah apakah mata pelajaran yang seabreg itu benar-benar diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan?
Bagai Gayung Bersambut
Entah ada kaitannya dengan pandangan Boediono atau tidak di media tersebut, respons Menteri Pendidkan Mohammad Nuh bagai gayung bersambut. Pada harian yang sama, beberapa hari kemudian, Moh. Nuh menjelaskan bahwa kementerian yang dipimpinnya beserta sejumlah tokoh masyarakat, seperti tokoh pendidikan, tokoh agama, psikolog, dan lainnya, sedang bekerja untuk mengevaluasi kurikulum yang sudah dipakai sejak tahun 2006 yang berlaku hingga sekarang itu.
Dikatakan, tim pengkaji kurikulum sedang bekerja dengan serius untuk memikirkan dan memberikan konsep mengenai substansi pendidikan Indonesia. Dari evauasi ini diharapkan akan muncul kepastian mengenai hal-hal yang benar-benar substansial yang memang harus ada dalam kurikulum pendidikan. Hal ini penting, pertama, agar siswa didik tidak lagi membebani dengan mata pelajaran yang tidak perlu, dan kedua, untuk memfokuskan arah pembangunan pendidikan. Jangan sampai pendidikan yang diselenggarakan melenceng dari tujuan utamanya.
Menurut Moh. Nuh, karena banyak persoalan di masyarakat yang erat kaitannya dengan pendidikan, seperti tawuran pelajar. Melalui evaluasi ini nantinya dapat diketahui akar persoalan dan soluasinya. Di samping itu, Moh. Nuh juga mencontohkan tentang penguasaan Bahasa Inggeris para siswa yang dinilainya masih kurang. Padahal, pelajaran Bahasa Inggeris sudah disampaikan setidaknya selama enam tahun pada jenjang SMP dan SMA, bahkan ada yang mulai sejak SD.
Persoalan lainnya, seputar jumlah pelajaran di sekolah. Jumlah pelajaran dinilai banyak kalangan terlalu banyak. Di tingkat SMA, misalnya, jumlah pelajaran yang harus ditempuh siswa sekitar 17 mata pelajaran. Moh. Nuh mempertanyakan apakah memang perlu mata pelajaran sebanyak itu, lalu apa pula hasilnya bagi peningkatan kualitas siswa?
Selain evaluasi tersebut, dilakukan pula uji coba dan perbandingan di sejumlah sekolah dengan mengubah jam belajar dari 23 jam per minggu menjadi 30 jam. "Tapi, walau ada penambahan waktu, jumlah mata pelajaran dikurangi atau dipadatkan dengan cara digabung," jelas Nuh. Secara keseluruhan, evaluasi kurikulum itu meliputi standar isi, proses, evaluasi, dan kompetensi," katanya (Kompas, 3/9/2012).
Selaras dengan Arah Pembangunan
Arah pembangunan Indonesia pertama-tama haruslah jelas. Dengan arah yang jelas, semua aspek dari keseluruhan program pembangunan bisa diarahkan ke situ, termasuk arah pembangunan pendidikan. Jika arah pembangunan saja tidak jelas, bagaimana dengan arah pendidikan? Padahal, pembangunan pendidikan adalah bagian terpenting dari pembangunan secara keseluruhan.
Demikianlah pemikiran pemikiran praktisi pendidikan Universitas Paramadina, Muhammad Abduhzen. "Haruslah diperjelas terlebih dahulu arah pembangunan bangsa. Setelah itu baru dijabarkan dalam kurikulum dan metode pembelajarannya," ujarnya. Tanpa kejelasan arah pembangunan, kata Muh. Abduhzen, kurikulum pendidikan menjadi kabur, bisa dijelali berbagai materi pelajaran yang tak penting, bahkan bisa disisipi kepentingan politik sesat.
Sejalan dengan pemikiran Boediono dan M. Nuh, Guru Besar Emiritus Universitas Negeri Jakarta, HAR Tilaar menilai, kurikulum yang berlaku saat ini perlu disederhanakan, karena jumlah mata pelajaran yang diberikan kepada siswa terlalu banyak. Pendidikan dasar, menurutnya, harus dipusatkan pada baca-tulis-hitung ditambah Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, bahasa daerah. Khusus di daerah tertentu ditambah dengan Bahasa Inggeris. Di jenjang SMA/SMK barulah materi ditambah dengan sejarah dunia, dan keterampilan dasar abad ke-21, seperti komputer.