"Sebetulnya saya sangat berminat menulis. Tetapi, saya merasa belum apa-apa, belum banyak ilmu yang saya miliki. Nanti sajalah setelah ilmu saya lebih banyak."
Apakah Anda pernah mendengar pernyataan yang isinya kurang-lebih seperti petikan di atas? Ucapan seperti itu terasa rendah hati, sesuatu yang menjadi bagian dari budaya ketimuran. Akan tetapi, ucapan tersebut bisa jadi sebuah dalih semata untuk menunda-nunda waktu menulis, di samping menunjukkan rendahnya rasa percaya diri. Ungkapan itu memunculkan pertanyaan : kapankan orang akan berada pada kondisi 'ilmu yang lebih banyak'? Jangan-jangan kondisi itu tidak pernah kita rasakan sepanjang hidup. Menulis tidaklah mesti menunggu kondisi ilmu yang lebih banyak, suatu keadaan yang tidak jelas dan tidak pasti kapan keadaan itu muncul. Jika aktivitas menulis ditunda-tunda terus hanya karena alasan seperti itu, maka waktu akan berlalu dengan sia-sia padahal peluang menulis demikian besar di depan mata.
Mari kita cermati lebih jauh tentang alasan mengapa seseorang tidak kunjung memulai menulis/mengarang. Pertama, alasan karena belum banyak ilmu sehingga belum pantas mempublikasikan hasil pemikirannya sebagaimana disinggung tadi. Ada orang yang merasa perlu menunggu agar ilmu bertambah dulu, baru akan memulai menulis. Kedua, alasan masih terlalu muda untuk menulis. Usia yang terlalu muda dipandang tidak layak menulis. Ketiga, alasan tidak menulis karena takut ditolak redaksi.
Ketiga faktor itulah yang antara lain menjadi dalih mengapa seseorang tidak kunjung menulis. Alasan belum banyak ilmu adalah satunya. Kalau kegiatan menulis itu ditunda sampai banyak ilmu baru mulai menulis, lalu kapankah terwujud kondisi 'lebih banyak ilmu' sehingga baru bersedia menulis? Saya kira, alasan ini kurang tepat karena setiap orang pada umumnya berada dalam proses belajar. Dalam proses belajar tersebut bukan berarti kita tidak boleh menulis. Menulis adalah kegiatan yang bisa dilakukan sambil mengisi diri. Salah seorang kompasianer muda, Titi, kini kelas tiga SMU rajin menulis di kompasiana. Saya senang menikmati postingannya yang banyak bernuansa motivasi/psikologi populer. Dalam usia muda, ia sudah mampu mengemukakan gagasannya melalui bahasa tulis dengan baik. Dia tidak menunggu tamat sarjana dulu baru menulis, tidak pula menunggu usia dewasa atau tua dulu baru menulis. Saya salut kepada Titi yang sudah banyak mencapai kemajuan. Kalau, misalnya, Titi menulis untuk media seperti majalah Gadis, tabloid Gaul, dan sejenisnya, kemungkinan besar artikelnya bakal dimuat. Saya tidak tahu apakah Titi sudah menulis untuk majalah atau tabloid seperti itu atau belum.
Ketakutan ditolak redaksi sebuah media adalah alasan berikutnya mengapa seseorang tidak kunjung menulis. Si calon penulis tidak siap mental menghadapi penolakan. Kalau penolakan tersebut benar-benar terjadi, maka hal ini dianggap menyinggung harga dirinya. Patut dipahami bahwa memang merupakan kewenangan redaksi sebuah media untuk memuat atau menolak sebuah tulisan/artikel yang dikirim penulis kepadanya. Dengan alasan sebuah harga diri, kita tak bisa memaksa redaksi untuk memuat tulisan kita di medianya. Redaksi-lah yang menentukan dimuat-tidaknya sebuah tulisan berdasarkan pendapatnya tentang kualitas, aktualitas, dan kesesuaian tulisan yang kita kirim. Oleh karena itu, penolakan redaksi jangan hendaknya dirisaukan benar. Ini bukanlah persoalan harga diri sang penulis, tapi melulu menyangkut materi tulisan. Tugas kita hanyalah menulis dan mengirimnya ke media. Kalau dimuat seperti kehendak kita ya syukur, tetapi kalau tidak, relakan saja. Mudah dan ringan saja, bukan? Kita akan sangat kecewa saat tulisan kita ditolak apabila sebelumnya kita terlalu berharap tulisan tersebut dimuat. Kirimkan saja tulisan itu, dan biarkan Redaksi memutuskan.
Menulis tidak perlu menunggu kondisi 'lebih banyak ilmu', tidak perlu menunggu menjadi dewasa atau tua, tidak pula perlu takut ditolak. Kalau kita ingin menjadi penulis, ya menulis saja. Terus dan terus menulis. Kapan mulai menulis? Sekarang juga, sekarang juga! Jangan ditunda-tunda lagi. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H