Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bung Hatta, Demokrasi Ekonomi, dan Pasar Tradisional

12 Oktober 2011   01:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:04 1804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Demokrasi pada umumnya selalu dikaitkan dengan politik, sehingga muncul istilah demokrasi politik. Di Indonesia pengertian demokrasi politik diterjemahkan sebagai kedaulatan rakyat dalam politik/pemerintahan. Dengan kata lain, demokrasi politik adalah kedaulatan yang berada di tangan rakyat, bukan daulat tuan raja, melainkan daulat rakyat. Jadi, pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Melalui prinsip ini, mengacu pada pandangan Bung Hatta, Yudi Latif dalam buku “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila” (Gramedia, 2011) menulis, bahwa di mana rakyat berdaulat, rakyat tidak lagi ditentukan oleh kekuatan di luar dirinya. Mereka menjadi penentu atas nama masa depannya sendiri melalui mandat yang mereka berikan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Demokrasi Ekonomi

Bung Hatta, salah seorang founding father Indonesia, melihat demokrasi itu tidak melulu demokrasi politik, melainkan juga demokrasi ekonomi. Apa yang beliau maksud dengan demokrasi ekonomi untuk Indonesia?Menurutnya, demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. “Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu, cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia,” paparnya sebagaimana dikutip Yudi Latif.

Hatta menolak untuk mengikuti demokrasi liberal sebagaimana berkembang di Barat. Menurutnya, demokrasi ala Barat yang dipancangkan melalui revolusi Perancis pada abad ke-18 membawa masyarakat Perancis pada demokrasi politik ansich yang pada level tertentu hanya menguntungkan masyarakat borjuasi dan menepikan masyarakat jelata. Demokrasi seperti itu, jelas Hatta, tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia yang menghendaki terwujudnya perikemanusiaan dan keadilan sosial.

Berdasarkan pemikiran tersebut, Mohammad Hatta menghendaki karakter utama demokrasi ekonomi Indonesia terletak padatiadanya watak individualistik dan liberalistik dari jiwa perekonomian Indonesia (Revrisond Baswir, 2009 : 40). Secara makro hal ini diterjemahkan dengan menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional serta diikutsertakannya semua pihak yang memiliki kepentingan dalam lapangan koperasi, termasuk para pekerja dan konsumen koperasi untuk turut bergabung menjadi anggota koperasi. Dengan demikian, pelembagaan kedaulatan ekonomi rakyat sebagai wujud demokrasi ekonomi dan pengutamaan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang atau individu, hanya bisa diwujudkan dengan menyusun perekonomian Indonesia sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Pemikiran Bung Hatta dan para pendiri bangsa telah tertuang ke dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 33. Ayat (1) pasal 33, menyebutkan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ayat (3), menyebutkan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dalam hubungan ini, sesuai dengan konstituasi, hadir peran negara dalam rangka menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi di Indonesia.

Pasar Tradisional, Cermin Demokrasi Ekonomi

Setelah 66 tahun Indonesia merdeka, apakah cita-cita demokrasi ekonomi sebagaimana dipikirkan Bung Hatta dan kawan-kawan dan sudah tercantum dalam UUD 1945 itu sudah terwujud? Untuk menjawab hal ini tentu saja kita mesti melihat penerapan demokrasi ekonomi dalam wujud real yang benar-benar memihak kepada kepentingan rakyat pada umumnya, bukan individu, atau orang per orang itu dalam proses pembangunan. Sudahkah masyarakat Indonesia, khususnya ekonomi kelas bawah mendapatkan perhatian sungguh-sungguh? Di bidang ekonomi, khususnya di bidang pendapatan masyarakat ekonomi kelas bawah, tidakkah keadaan mereka malah semakin terpuruk karena kalah bersaing dengan para kapitalis tatkala berkiprah di bidang usaha kecil, misalnya, sebagai pedagang pasar tradisional?

Salah satu wahana ekonomi kerakyatanyang akrab dengan masyarakat adalah pasar tradisional. Pasar tradisional sudah menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat kecil. Tetapi pasar tradisional yang dulu dibanggakan bahkan belakangan acap dikunjungi para kandidat presiden dan kepala daerah untuk menebar janji demi meraup suara pemilih, kini mulai ditinggalkan oleh para pembeli. Masyarakat mulai beralih ke pasar modern, seperti mini market dan supermarket. Alasan yang paling masuk akal adalah bahwa pasar tradisional pada umumnya belum banyak bergeser dari kesan bau, jorok, becek, dan predikat lain sejenis itu. Sementara, pasar modern dirasa lebih nyaman, bersih, dan bergengsi. Kondisi pasar tradisional seperti itu mulai mengurangi minat orang berbelanja ke situ, kemudian beralih ke pasar modern yang lebih memiliki daya pikat.

Jika negara yang diwakili oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait yang memiliki kekuasaan atau kewenangan dalam hal ini tidak menghendaki pasar tradisionalhidup merana, maka sudah waktunya untuk lebih gencar melakukan pembenahan/revitalisasi. Upaya-upaya pemerintah yang sudah menunjukkan perhatian terhadap pasar tradisional seperti membuat pasar percontohan dan pembenahan lainnya mesti lebih diperkuat sehingga pasar tradisional bisa terjaga eksistensinya ke depan. Eksistensi pasar tradisional sangat didambakan oleh lebih dari 12,6 juta pedagang yang tercakup ke dalam 13.450 unit pasar, karena di sanalah kehidupan mereka bergantung. Di pasar tradisional itu mereka mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Jika pasar tradisional dibiarkan hidup seperti kerakap tumbuh di batu dan berangsur-angsur kolaps, maka akan dibawa ke mana 12,6 juta rakyat Indonesia yang selama ini menggantungkan hidupnya di situ dan bagaimana pula dengan keluarga mereka?

Eksistensi pasar tradisional menjadi cermin pelaksanaan demokrasi ekonomi di negeri ini. Semoga pemikiran adiluhung yang telah diwariskan oleh Bung Hatta dan para pendiri bangsa ini dapat diwujudkan secara nyata di bumi Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun