Ada orang yang beranggapan bahwa mereka yang berbisnis tidak perlu terlalu mempedulikan etika. Mereka boleh-boleh saja berbisnis dengan cara dan gaya masing-masing. Yang terpenting adalah memeroleh keuntungan sebesar-besarnya.
Kalau soal cara, tak masalah, yang penting apa yang menjadi target bisa dicapai, bahkan sebisanya lebih cepat dari waktu yang ditetapkan.
Keuntungan yang Utama
Lantaran tujuan utamanya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, maka pebisnis seperti ini cenderung menerapkan jurus menghalalkan segala cara. Yang penting memenangkan persaingan, bagaimana pun caranya.
Oleh karena itu, pesaing atau kompetitor bisnis  dianggap sebagai musuh yang harus dilawan bahkan ditaklukkan.
Perusahaan dipandang sebagai mesin penyedot uang, bagaimana pun caranya, entah dengan membohongi pembeli, pemalsuan, mendegradasi kualitas lingkungan sekitar, dan lainnya.
Dengan demikian, si pelaku bisnis akan bisa melenggang tanpa pesaing yang berarti dan mendapatkan sebentuk monopoli di bidang bisnis yang digelutinya dan mendapatkan limpahan keuntungan yang besar.
Kalau hal-hal seperti itu banyak itu terjadi, kira-kira seperti apa wajah dunia bisnis di negeri ini? Tentu saja akan terjadi penerapan prinsip homo homini lopus alias yang kuat akan memangsa yang lemah. Dan, yang lemah tidak memliki kemampuan untuk bersaing dan terancam keberadaannya.
Hanya Sementara
Akan tetapi, kemenangan si kuat dengan jurusnya itu hanya untuk sementara saja. Dengan "membasmi" lawan-lawannya dan cara lainnya, dia akan mendapatkan peluang yang memberinya keuntungan yang sangat besar. Tetapi, hal itu tidak akan lama berlangsung. Mengapa?
Masyarakat kita sudah paham dengan praktik yang mengedepankan cara-cara menghalalkan segala cara seperti itu. Masyarakat kita masih memiliki hati nurani untuk menilai apakah sebuah lembaga bisnis atau perusahaan dikelola dengan etika bisnis yang baik atau tidak.
Penilaian negatif pada akhirnya akan menimpa lembaga bisnis atau perusahaan yang melakukan praktik bisnis tanpa etika tersebut.
Mereka yang tadinya sudah menjadi mitra bisnis, pemasok, pelanggan atau konsumen, jadi berpikir ulang untuk bekerjasama dengan pelaku bisnis semacam ini. Kepercayaan mereka akhirnya lenyap. Tidak ada lagi kepercayaan (trust) terhadapnya.
Kehilangan Kepercayaan
Nah, jika demikian yang terjadi, akankah pelaku bisnis tersebut tetap terjaga eksistensinya? Kehilangan kepercayaan adalah hal yang sangat fatal dalam dunia bisnis.
Para pihak yang sebelumnya menjadi partner bisnis, pelanggan, dan stakeholder lainnya, satu demi satu memutuskan hubungan bisnis. Alhasil, perusahaan seperti itu akhirnya menemui kebangkrutan oleh ulah pengelolanya sendiri.
Oleh karena itu, sebaik-baiknya bisnis adalah bisnis yang benar-benar menerapkan etika bisnis. Etika bisnis inilah yang menjadi pondasi dalam mengolola usaha, bukan dengan cara-cara yang tak bermoral.
Etika bisnis memberi panduan kepada para pebisnis untuk melakukan aktivitas berdasarkan standar moral yang mengedepankan hati nurani.
Dalam etika bisnis, terdapat nilai-nilai luhur yang menjadi sumbernya. Dengan dilandasi nilai-nilai kebaikan inilah sebuah bisnis bisa dikelola dan dapat bergerak mencapai kemajuannya secara berkesinambungan.
Sumber Etika Bisnis
Dari mana asal dari nilai-nilai moral yang menjadi dasar etika bisnis itu? Terdapat berberapa sumber yang bisa menjadi nilai etika dalam berbisnis.
Pertama, agama. Agama yang mengajarkan kebaikan dan keluhuran budi menjadi salah satu sumber nilai etika dalam berbisnis. Agama memberi panduan agar para pelaku bisnis selalu ingat dan menerapkan apa yang dipelajarinya dari agama.
Sumber etika bisnis yang kedua adalah filsafat. Seperti halnya agama, ajaran-ajaran filsafat pun banyak menjadi nilai-nilai dasar dalam berbisnis. Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dan dijadikan panduan dalam berbisnis yang bersumber dari filsafat.
Soecrates, misalnya, pernah mengatakan bahwa kebaikan sebagai penentu kekayaan, bukan sebaliknya, kekayaan sebagai penentu kebaikan.
Sumber nilai etika bisnis yang ketiga adalah budaya. Â Bisnis tidak bisa terlepas dari budaya di mana bisnis tersebut berada.
Tanpa memerhatikan budaya setempat, maka akan sangat sulit bagi bisnis tersebut diterima oleh masyarakat, apalagi sampai bertentangan dengan budaya daerah setempat. Oleh karena itu, di mana bisnis berada, di sana budaya setempat dijunjung.
Selanjutnya, sumber etika bisnis lainnya adalah hukum positif. Di dalam aturan hukum bisnis terdapat nilai-nilai etika juga yang diratifikasi menjadi suatu produk hukum.
Pada hakekatnya hukum merupakan serangkaian nilai-nilai etika atau moral yang dibentuk menjadi hukum yang memiliki kekuatan mengikat dan memaksa serta disertai sanksi nyata.
Pembenahan ke Dalam
Mereka yang bergelut di dalam bisnis apa pun mesti membekali diri dengan nilai-nilai kebaikan yang datang dari berbagai sumber seperti agama, budaya, hukum, dan filsafat.
Nilai-nilai itulah yang mengisi hati nurani si pebisnis dan menjadikannya sebagai landasan moral dalam bertindak.
Kalau ada pesaing dan terjadi kompetisi dalam berbisnis, hindari menerapkan jurus menghalalkan segala cara dengan nafsu untuk menaklukkan atau memusnahkan pesaing tersebut.
Persaingan hendaknya menjadi semacam kesempatan bagi pebisnis untuk melakukan pembenahan ke dalam perusahaan secara berkelanjutan. Misalnya, melakukan pembenahan berkesinambungan terhadap kualitas produk yang dihasilkan dan kualitas layanan yang diberikan.
Hanya dengan menerapkan etika bisnis, kemampuan bersaing akan tetap terjaga dan kepercayaan dari stakeholder pun bisa dijaga.
(I Ketut Suweca, 1 Maret 2023).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H