Seorang penulis dituntut kreatif dalam berkarya. Jika tidak, bukan mustahil tulisannya akan terkesan monoton, begitu-begitu saja, tanpa kreativitas. Pembaca pun tidak tertarik membaca karyanya.
Penulis yang kreatif bisa melihat suatu masalah atau peristiwa dari lebih dari satu sisi (angle). Nah, di sinilah diperlukan kreativitas sang penulis untuk menghasilkan karya yang berbeda dengan karya penulis lain.
Objek yang ditulis boleh sama, tetapi ulasan atau bahasannya bisa berbeda tergantung sudut pandang penulisnya. Seorang penulis memang dituntut menghasilkan karya-karya yang menunjukkan keautentikan pandangannya.
Akal sehat (common sense) saja tidaklah cukup. Diperlukan kemampuan melihat suatu persoalan dari sudut tertentu dengan kedalaman yang cukup. Di sinilah dibutuhkan kreativitas.
Redaksi koran Kompas, misalnya, dalam sebuah email-nya kepada saya, menyebut ini sebagai kemampuan melihat sebuah ceruk yang relatif sempit namun dalam. Itulah yang seyogianya digali oleh penulis.
Ketiga, memiliki kemampuan riset.
Tentang riset atau penelitian ini tentu sudah pernah kita pelajari saat kuliah, pada berbagai jenjang pendidikan tinggi. Jadi, saya tidak akan membahasannya lagi di sini. Bekal kemampuan riset tersebut sudah lebih dari cukup untuk menjadi seorang penulis.
Dalam kaitannya dengan dunia tulis-menulis di media umum, tulisan yang terlalu ilmiah, kendati berbasis riset, Â pada umumnya tidak menarik.
Di media umum seperti koran dan media online lainnya, tulisan-tulisan yang dihadirkan seyogianya bersifat populer. Artinya, tulisan itu sengaja disusun secara populer oleh penulisnya sehingga menarik dan mudah dipahami pembaca.
Riset yang dilakukan pun relatif jauh lebih sederhana. Misalnya, dengan menggali informasi dari berbagai sumber. Bisa dari buku, koran, majalah, dan internet yang memiliki relevansi dengan upaya pemberian bobot pada tulisan. Yang terpenting adalah opini penulisnya.
Keempat, kemampuan menyunting tulisan.