Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Dear Leader, Jangan Hanya Menyalahkan Karyawan, Pertimbangkan Ini

19 Mei 2021   16:47 Diperbarui: 19 Mei 2021   17:15 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jangan hanya menyalahkan karyawan (Sumber gambar: jennifergilmore.com)

Leo, sebut saja namanya seperti itu, beberapa hari belakangan ini terlambat hadir ke kantor. Ia jarang apel pagi yang seharusnya diikuti sebelum memulai bekerja. Ia baru akan datang kurang-lebih satu jam setelah apel usai saat karyawan sudah mulai bekerja. Begitu beberapa kali terjadi.

Melihat hal seperti itu, atasannya langsung menegur. Ia mengancam akan melaporkan Leo ke pimpinan tertinggi apabila melakukan hal itu lagi. Leo bisa saja dipotong gajinya atau bahkan dipecat dari pekerjaannya.

Tentu saja Leo sudah berusaha menjelaskan mengapa ia sering terlambat masuk kantor. Hanya, sang atasan tak mau tahu. Ia sama sekali tidak menerima alasan apa pun.

"Pokoknya Saudara harus disiplin masuk kerja, tidak bisa tidak. Ini sudah aturan di kantor ini. Jika tidak sanggup mengikuti aturan ini, silakan keluar. Ajukan surat pengunduran diri sebelum Saudara dipecat!," demikian ujar atasan Leo, ketus.

Leo hanya tertunduk diam. Ia hanya mengangguk. Di dalam hati ia sedang memikirkan bagaimana caranya agar bisa mengikuti apa yang menjadi rambu-rambu kantor sesuai dengan yang disampaikan atasannya itu. Apalagi ia sudah merasakan betapa sulitnya mendapatkan pekerjaan.

Masih sulit baginya menyiasati waktu mengingat ia harus mengurus dua orang anaknya yang masih kecil yang ditinggal sang istri setelah mereka memutuskan berpisah belum lama ini.

Gampang-gampang Sulit

Begitulah kisah si Leo. Pertanyaannya, sudah tepatkan perlakuan atasannya terhadap diri Leo? Kalau salah, seperti apa seyogianya?

Menghadapi karyawan yang mangkir dari pekerjaan atau tugasnya adalah persoalan yang gampang-gampang sulit.

Mengapa gampang? Karena, jika ada karyawan seperti itu, tinggal menegur secara lisan dan tertulis. Kalau tidak ada perubahan, tinggal memecatnya. Mudah, bukan?

Tetapi persoalannya, sudah tepatkah tindakan yang diambil itu? Tidakkah masih diperlukan penggalian lebih dalam? Tidakkah diperlukan pertimbangan-pertimbangan lain?

Inilah bagian sulitnya, bagian yang harus dipertimbangkan benar-benar oleh siapa pun yang berpredikat sebagai pemimpin (leader).

Seorang pemimpin yang baik, pada tingkatan mana pun ia berada, biasanya akan melakukan sejumlah upaya untuk mengatasi masalah seperti ini sebelum mengambil keputusan akhir.

Ia harus menelusuri alasan yang sesungguhnya mengapa karyawan mangkir atau terlambat masuk kantor atau melakukan pelanggaran lainnya.

Seperti si Leo pada kasus di atas, sang atasan seyogianya menanyakan lebih jauh mengapa sering terlambat.

Hal ini penting untuk mengetahui apakah yang bersangkutan memang dasarnya seorang pemalas atau lantaran ada hal tertentu yang tidak bisa dihindarinya sehingga ia terpaksa terlambat.

Hal-hal yang menjadi alasan inilah yang seharusnya ditelusuri oleh atasan. Ia harus dapat mengetahui dengan sebenar-benarnya mengapa karyawan atau staf bertindak seperti itu.

Lebih detailnya, apa yang harus dilakukan seorang leader menghadapi karyawan yang seperti itu?

Pertama, jangan emosional. 

Hindari kemarahan yang diekspresikan dengan sikap dan kata-kata yang tidak enak didengar. Pemimpin mesti bersabar menghadapi persoalan seperti ini.

Kemarahan atau sikap emosional hanya akan menjadi boomerang baginya. Tidak akan mendapatkan jawaban maksimal dan bisa jadi berakibat terbalik, karyawan dimaksud akan melakukan pembelaan terhadap apa yang dilakukannya.

Karyawan bisa saja sakit hati oleh sikap atau perkataan atasannya dan akhirnya memilih sikap kontraproduktif. Oleh karena itu, kesabaran harus menjadi pegangan apabila menghadapi kasus semacam ini.

Kedua, tanyakan masalahnya.

Perlu referensi yang lengkap tentang karyawan bersangkutan. Gali informasi darinya, dari teman-teman dekatnya atau orang-orang di sekitarnya. Ketahui masalah sebenarnya dengan lebih banyak mendengar.

Masalah sebenarnya acapkali tidak terungkapkan, padahal untuk tindak lanjut diperlukan pemahaman terhadap akar permasalahan yang sesungguhnya terjadi.

Pendekatan yang baik sangat dibutuhkan dalam hal ini. Dengan sikap seperti itu, karyawan pada umumnya lebih terbuka dan kooperatif.

Ketiga, berusaha memahami.

Pemimpin atau atasan sebaiknya berempati atas apa yang diketahui atau ditemukannya setelah melakukan penelusuran. Kemungkinan besar apa yang diduga sebelumnya, mungkin dugaan negatif, pada kenyataannya tidaklah demikian.

Ternyata dugaan itu salah, yang kalau misalkan diputuskan maka keputusan yang diambil pun akan keliru. Pemahaman akan kejadian sebenarnya menjadi sangat penting sebelum mengambil keputusan.

Mungkin saja pada awalnya sang pemimpin kesal akan sikap atau perilaku si karyawan. Akan tetapi, setelah ia mengetahui akar masalahnya, bukan tidak mungkin ia berempati terhadap sang karyawan dimaksud.

Keempat, bantu berikan alternatif pemecahan masalah.

Sepanjang memungkinkan, ada baiknya si pemimpin turut memberikan akternatif jalan keluar dari permasalahan yang tengah dihadapi karyawan. Boleh jadi, si karyawan belum bisa menemukan solusi dari permasalahan yang tengah dialaminya.

Apalagi, misalnya, karyawan tersebut seorang introvert, maka ia cenderung akan bersikap diam dan tidak menyampaikan masalahnya kepada orang lain, termasuk kepada atasannya. Ia memendam permasalahannya sendiri tanpa ada upaya meminta pertimbangan dari siapa pun.

Kelima, ambil  keputusan.

Jika permasalahannya sudah jelas dan ternyata bisa diberikan jalan keluar, syukurlah. Permasalahan terpecahkan. Yang bersangkutan bisa kembali bekerja dengan baik sesuai dengan ketentuan.

Sang karyawan pun bisa mempertimbangkan dan menerapkan alternatif yang diberikan itu sehingga meringankan kesulitan atau bebannya.

Jika kemudian ternyata tidak juga ada perubahan, sang pemimpin mungkin bisa mencoba mendiskusikan lebih jauh dan menawarkan solusi yang lain yang barangkali lebih jitu. Syukur sang karyawan bisa berhasil keluar dari permasalahannya.

Nah, jika seluruh upaya yang dilakukan tidak juga berhasil, apalagi diketahui bahwa pada dasarnya yang bersangkutan seorang pemalas dan tidak mau berubah, yang sanksilah yang sebaiknya diberlakukan.

Sanksi dimaksud bisa teguran tertulis, penundaan kenaikan gaji, penurunan pangkat, hingga paling berat yaitu pemecatan. Tergantung pertimbangan dan aturan yang mendasarinya.

Yang perlu ditekankan adalah, jangan sampai seorang atasan atau pemimpin salah dalam mengambil langkah, apalagi menyangkut nasib karyawan -- dan keluarganya. Harus dipikirkan benar-benar setiap ganjaran yang hendak diberikan.

Kalau pun memberi sanksi, maka hendaknya sanksi itu dimaksudkan untuk menyadarkan, mendidik, menyemangatinya untuk berbuat baik setelahnya.

Yang fatal adalah menghukum atau memecat seseorang yang sesungguhnya tidak bersalah!

( I Ketut Suweca, 19 Mei 2021).  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun