Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Pengalaman Ikut Menulis Maraton 14 Hari di Kompasiana, Pelajaran Apa yang Didapat?

17 Januari 2021   05:48 Diperbarui: 21 Januari 2021   20:56 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usai sudah kompetisi menulis secara maraton yang saya ikuti di kompasiana. Kegiatan yang berlangsung selama 14 hari penuh itu diselenggarakan sejak tanggal 3 Januari hingga 16 Januari 2021. Untungnya, tidak sehari pun saya bolos menulis. Lega rasanya.

Topik hariannya sudah ditentukan, lengkap dengan segala ketentuannya. Sebuah tantangan yang menarik, tentu saja. Dan, akhirnya saya pun bisa menyelesaikan tantangan itu dan menutupnya dengan artikel terakhir berjudul Kingdom, Ashin of The North.

Bagaimana rasanya mengikuti menulis secara maraton di Kompasiana? Ijinkan saya memaparkan pengalaman saya berikut ini sekaligus menarik pelajaran darinya.

Pertama, bisa menulis satu hari satu artikel.  

Tadinya saya tidak yakin bahwa saya akan bisa menulis setiap hari tanpa bolong sama sekali. Tetapi kenyataannya, bisa saya lewati setiap hari satu artikel sampai kompetisi berakhir.

Mengapa saya sempat khawatir? Sebab, menulis membutuhkan waktu dan konsentrasi, sementara ada lumayan banyak pekerjaan yang mesti saya handle setiap hari. Selain tugas kedinasan juga tugas kampus, tugas organisasi, dan lainnya.

Jangan-jangan di pertengahan macet, begitu pikir saya. Dengan berbulat tekad ternyata saya berhasil melewatinya. Ternyata saya bisa menulis setiap hari di tengah kesibukan lain yang juga menuntut waktu dan energi saya. Semuanya bisa berjalan seiring.

Bahkan, pada hari libur terkadang saya bisa menulis 2 artikel dalam satu hari. Satu untuk diikutkan dalam acara menulis maraton ini, yang satunya lagi berupa tulisan bebas sekehendak hati.

Pelajaran yang bisa dipetik: satu artikel dalam sehari bukan sesuatu yang mustahil jika ada tekad kuat dan bulat untuk merealisasikannya.

Kedua, penguasaan materi artikel itu perlu.

Dalam mengikuti menulis maraton ini saya merasakan sulitnya menulis hal-hal yang tidak saya kuasai dengan baik. Untuk maklum, tidak semua topik yang ditentukan oleh pengelola kompasiana bisa saya tulis dengan baik.

Persoalannya, saya kurang memahami topik tersebut atau pengetahuan saya sangat terbatas tentang hal itu. Jika saya mencari dan mengolah bahan materi dari internet dan sumber lain, risikonya tentu tingkat orisinalitasnya menjadi terabaikan.

Di samping aspek orisinalitas, sentuhan pribadi (personal touch)-nya akan sangat kurang. Dari pengalaman menulis, aspek emosionalitas penulis mesti masuk untuk memberikan kekuatan (power) pada tulisan. Bagaimana kita bisa memberi power pada sebuah artikel kalau, sebagai penulis, kita kurang menguasai dan tidak berminat pada topik itu?

Semakin kita menguasai sebuah topik dan semakin kita senang pada topik yang tersebut, maka tulisan kita cenderung bagus. Sebaliknya, jika kita tak berminat dan tidak pula menguasai suatu topik dengan baik, maka tulisan kita akan cenderung kering tanpa roh.

Pelajaran yang bisa saya petik: tulis artikel sesuai dengan bidang kemampuan atau keahlian. Jika di luar itu yang harus ditulis, pelajari materinya dengan selengkap-lengkapnya dan lakukan internalisasi intensif sebelum menuangkan ke dalam tulisan.

Ketiga, penyuntingan cermat selalu dibutuhkan.

Menulis untuk lomba ini benar-benar tidak memberikan kesempatan untuk menyunting setelah tulisan tayang. Keadaan ini menutup kemungkinan bagi peserta untuk memperbaiki tulisan mereka.

Sebelum sebuah tulisan diunggah, si penulis tentu akan mengeditnya terlebih dahulu. Saya pun sudah melakukan proses editing berulang-ulang, bisa 2 sampai 3 kali editing. Sebelum menayangkannya, saya sudah yakin bahwa tulisan itu sudah clear, tanpa kesalahan.

Akan tetapi, bagaimana kenyataannya? Ternyata ada saja kesalahan ketik pada satu-dua artikel yang saya tayangkan. Kesalahan itu tidak mungkin saya perbaiki lagi.

Berbeda halnya dengan artikel yang tidak mengikuti blog competition ini, yang tetap memberi kesempatan kepada penulisnya untuk menyempurnakannya  dengan fasilitas tombol Edit. Tapi, itulah ketentuan yang harus dipatuhi.

Pelajaran yang saya dapatkan: menyunting artikel harus dengan cermat dan detail serta berulang-ulang. Menyunting adalah kunci terakhir dalam proses menyempurnakan tulisan.

Keempat, berkaitan dengan jumlah pembaca.

Jumlah yang membaca artikel-artikel saya cukup variatif. Pada umumnya berkisar antara 100 sampai dengan 200 pembaca per artikel. Ada beberapa artikel saya yang dilihat (dibaca) di atas 200 orang, bahkan di atas 1.000 orang. Ada juga artikel saya yang tingkat keterbacaannya rendah, di bawah 100 orang.

Lalu, adakah kaitan jumlah pembaca dengan penguasaan materi tulisan oleh si penulis? Saya yakin, kalau sebuah tulisan benar-benar berangkat dari penguasaan penulisnya terhadap topik yang ditulis, maka hasilnya cenderung bagus. Pembaca artikelnya pun cenderung tinggi atau banyak. Demikian juga sebaliknya.

Akan tetapi, ini dengan asumsi, si penulis memiliki kemampuan menuangkan gagasan ke dalam bahasa tulis dengan baik.

Kalau ditelisik lebih jauh, tulisan yang berdasarkan pengalaman cenderung lebih diminati pembaca. Buktinya? Di antara 14 artikel yang saya susun dan ikutkan dalam kompetisi ini, ada 2 tulisan yang menjadi Artikel Utama (AU). Kedua artikel itu berangkat dari pengalaman saya pribadi.

Artikel yang berjudul Pengalaman "Menikmati" Banjir dan Kasur yang Mengambang, dan "Si Ratu Malam" Akankah Menjadi Tren 2021, berangkat dari pengalaman hidup saya sendiri. Keduanya menjadi headline (HL). Sedangkan satu artikel lagi, kendati tidak HL,  pengunjungnya lebih dari 1.300 orang adalah yang  bertajuk  Ketika Pesawat Hanya Berputar-putar di Udara dan Tidak Dijinkan Mendarat.

Dari situ dapat diduga bahwa pembaca, termasuk pengelola atau admin, menyukai tulisan-tulisan yang diangkat dari pengalaman. Mengapa demikian? Karena, tulisan semacam itu langsung menyentuh emosi pembaca. Pembaca bisa larut secara emosional: terharu, sedih, bahagia, takut, tertawa, saat membaca artikel seperti itu.

Pelajaran yang saya petik: menulis dari pengalaman sendiri jauh lebih mudah dan lebih menarik bagi pembaca karena ada sentuhan emosi di dalamnya.  

Kelima, perlunya konsistensi dalam menulis.

Tanpa konsistensi, sependek apa pun waktu yang diberikan, orang akan cenderung menyudahi   upayanya di tengah jalan. Dengan kata lain, tidak menuntaskannya hingga hari terakhir, kendati itu boleh-boleh saja dan tetap dalam penilaian dengan hitungan per artikel.

Memang, konsistensi sangat dibutuhkan dalam pekerjaan atau kegiatan apa pun jika ingin berhasil, tak terkecuali dalam kegiatan menulis.

Tanpa konsistensi, kita akan menjadi penulis tipe lumba-lumba -- meminjam istilah yang disampaikan Pak Tjiptadinata Effendi. Artinya, sesekali menulis, lalu menghilang. Lalu, menulis lagi dan menghilang lagi.

Hanya orang yang memiliki konsistensi yang mampu menulis secara berkesinambungan. Ia bisa menulis satu artikel setiap hari, satu artikel setiap dua hari, atau satu artikel setiap 3 hari, dan seterusnya. Beberapa sahabat yang sudah secara berkesinambungan menulis sampai ratusan bahkan ribuan artikel adalah bukti konsistensi.

Pelajaran yang saya petik: menulis secara konsisten adalah kunci keberhasilan seorang penulis. Semua penulis yang sukses berangkat dari konsistensi. Ia tangguh, tak tergoyahkan.

Itulah beberapa item yang bisa saya angkat dari blog competition menulis maraton ala kompasiana sebagai bentuk refleksi. Berharap dari sini saya bisa belajar untuk menjadi lebih baik.

( I Ketut Suweca, 17 Januari 2021).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun