Teringat saat saya menjelang dan awal berkeluarga, dulu. Ketika ingin memiliki rumah sendiri, pertama-tama saya membeli tanah. Tanah saya beli dari utang di sebuah lembaga koperasi.
Dipercaya Bank
Di atas tanah itu saya ingin membangun rumah mungil. Saya pun memberanikan diri meminjam uang di koperasi yang sama, dua tahun setelah cicilan utang pembelian tanah lunas.
Lalu, lama setelah itu, untuk menyekolahkan anak di perguruan tinggi, saya harus menggenapi uang yang berhasil  terkumpul dengan utang, kali ini berutang di bank.
Begitulah pengalaman saya berproses dalam kehidupan, berharap bisa mencapai kemajuan selangkah demi selangkah.Â
Tanpa bantuan pinjaman bank dan koperasi, niscaya saya mengalami kesulitan ketika hendak membangun rumah, juga menyekolahkan anak-anak saat itu.
Perhatikan Kebutuhan
Ada beberapa hal penting yang mesti dipertimbangkan tatkala hendak meminjam uang di bank, di koperasi, atau lainnya.
Pertama, perhatikanlah kebutuhan sebenarnya. Pertanyaan yang perlu diajukan kepada diri sendiri adalah: apakah saya benar-benar membutuhkan pinjaman? Misalnya, untuk membangun rumah, menambah modal usaha, dan menyekolahkan anak.Â
Tidakkah kita meminjam uang di bank justru untuk sesuatu yang konsumtif sifatnya?Â
Empat Puluh Persen Saja
Kedua, perhatikan besaran gaji. Pada saat menentukan besaran pinjaman, perhatikan kemampuan dalam mengangsur. Jangan sampai keteteran saat mencicil utang setiap bulannya. Hidup akan menjadi sangat berat karenanya.
Terkait dengan rencana pinjaman ini, perhatikan juga cicilan yang menjadi kewajiban di tempat lain. Jika kita meminjam lebih dari satu lembaga pinjaman, pertanyaannya: seberapa besar total cicilan itu? Mampukah kita mengangsur semua pinjaman tersebut?
Bagaimana rasio besaran cicilan di semua lembaga keuangan itu dengan total gaji kita?
Saya sering menganjurkan kepada teman yang akan melakukan pinjaman dengan patokan maksimal potongan sebesar 40 persen dari total gaji yang diterima setiap bulannya. Diusahakan tidak lebih dari itu terutama bagi mereka yang hanya mengandalkan gaji sebagai satu-satunya sumber penghasilan.
Pemikiran ini muncul agar si peminjam tidak cenderung  nge-gass ketika mengajukan pinjaman hingga di luar batas kemampuan. Perlu sesekali di-rem agar kendaraan tak sampai terperosok masuk got, he he he.
Sisa uang yang besarannya sekitar 60 persen dari gaji itu bisa dipergunakan untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari kendati dengan pola hidup yang hemat dan sederhana.Â
Di samping itu, saya sarankan juga untuk menutupi kekurangan akibat pemotongan gaji itu dengan mencari tambahan penghasilan.Â
Menopang Produktivitas
Ketiga, manfaatkan pinjaman untuk hal-hal yang produktif. Membeli properti untuk tempat tinggal, mengkuliahkan anak sebagai bentuk investasi di bidang pendidikan sumber daya manusia, menambah modal usaha yang untuk memperbesar binis adalah hal-hal yang dimungkinkan dan dianjurkan.
Yang perlu dihindari adalah melakukan peminjaman hanya agar tampak wah  di mata orang lain. Padahal, di balik itu, yang bersangkutan mengalami kesulitan besar ketika harus mengangsur utang setiap bulannya.Â
Utang yang tak dimanfaatkan dengan baik hanya akan menjadi bumerang bagi si pengutang! Inilah yang perlu diperhatikan oleh para kreditur (peminjam).
Pada umumnya utang yang relatif besar diwajibkan menyertakan agunan (warranty). Nah, jika kita tak bisa mencicil utang, bukan tidak mungkin agunan tersebut bisa diambil oleh lembaga pemberi pinjaman (debitur).
Disiplin dalam Penggunaan Utang
Keempat, disiplin dalam penggunaan utang. Ketika mendapatkan pinjaman  uang di bank atau koperasi, bagi sebagian orang mungkin akan merasa senang. Mereka tiba-tiba saja memiliki banyak uang.
Saking senangnya melihat uang seabrek, pikiran pun bisa bermacam-macam. Sampai di sini, saya teringat dengan seorang sahabat yang sering berutang, baik di bank maupun di koperasi. Belum genap setahun meminjam dia akan melakukan peminjaman ulang dengan jumlah yang lebih banyak. Istilahnya, melakukan kompensasi.
Mau tahu uang itu dipakai untuk apa? Tiada lain, dipakai untuk modal mengikuti sabungan ayam, karena ia pencinta sabungan ayam sejak lama. Di samping itu, ia juga doyan minum-minum di cafe, mencari hiburan.Â
 Akibatnya, tak lama kemudian uang pinjamannya  habis dengan cara seperti itu.
Ini contoh yang agak ekstrem tetapi nyata adanya dalam kehidupan. Mungkin hal yang hampir sama juga ada di sekitar kita.
Pengutang Cerdas dan Bodoh
Perlu digarisbawahi bahwa sama sekali tidak ada larangan untuk berutang. Kita bisa berutang di lembaga keuangan seperti di perbankan, di koperasi, atau meminjam kepada perorangan.
Hanya, yang perlu diperhatikan adalah keperluan peminjaman itu: apakah untuk sesuatu yang produktif dan bermanfaat? Jangan meminjam uang hanya untuk tujuan konsumtif, apalagi untuk berfoya-foya.
Kalau yang terakhir dilakukan juga, maka kita termasuk pengutang yang bodoh. Bodoh, disebut demikian, karena utang tersebut akan habis tandas dan tidak menghasilkan apa-apa pada akhirnya.
Seorang pengutang yang cerdas dan bijak adalah dia yang membuat uang yang dipinjamnya menjadi berlipat-ganda, menjadi produktif, menjadi investasi berharga untuk masa depan yang lebih baik.
 Dr. David J. Schwartz dalam bukunya The Magic of  Thinking Success, menyatakan,"Utang yang cerdik adalah uang yang yang Anda pinjam untuk menghasilkan uang yang lebih banyak. Kalau Anda meminjam uang untuk liburan, hiburan, pakaian, dan berfoya-foya, Anda adalah peminjam yang bodoh."
( I Ketut Suweca, 9 November 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H