Menulis merupakan proses kreatif yang memungkinkan siapa pun untuk menuangkan apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Hasil pemikiran itu kemudian dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi karya yang berguna dan menginspirasi pembaca.
Kelancaran proses kreatif tergantung pada sejumlah faktor, baik yang berasal dari diri sang penulis maupun dari luar dirinya. Berdasarkan pengamatan penulis, paling tidak, terdapat lima faktor atau hal yang secara langsung bisa menunjang seseorang untuk menulis dengan baik.
Akan tetapi, haruslah diingat bahwa rasa nyaman dan suasana kondusif tak selalu kita dapatkan. Ada banyak sekali persoalan hidup yang mungkin bisa menjadi penghalang.Â
Lantas, bagaimana menghadapi hal-hal semacam itu? Akankah kita memutuskan untuk berhenti menulis?
Mari kita mulai membahasnya dari lima faktor yang memperlengkapi dan memperlancar kita dalam  proses penulisan. Setelah itu barulah kita singgung sedikit tentang apa yang bisa kita lakukan saat berbagai masalah kehidupan tersebut harus berhadapan dengan proses menulis kita. Â
Temukan Tempat dan Waktu Menulis
Pertama, tempat menulis. Masalah tempat menulis sering menjadi faktor penentu dalam penulisan. Ada orang yang merasa nyaman menulis di tempat yang sepi, ada pula yang tak merasa terganggu menuangkan ide-idenya di tempat yang relatif ramai, misalnya, mojok di cafe.
Tergantung pada si penulis di mana tempat yang menurutnya nyaman untuk menuangkan gagasan, di situlah ia pilih.
Seorang sahabat merasa nyaman menulis di rumah. Karena anak-anaknya sudah berkeluarga dan tak lagi tinggal di rumah bersamanya, maka rumahnya relatif sepi. Â Hanya dia dan istrinya ada di rumah. Dengan kondisi itu, ia merasa rumahlah tempat yang paling kondusif untuk menuangkan pemikiran-pemikirannya.
Kedua, waktu menulis. Ada yang mengatakan bahwa waktu pagi hari-lah yang paling nyaman untuk menulis. Benar juga, sebab pada pagi hari pikiran kita dalam kondisi terbaik, masih fresh, setelah sebelumnya tidur di malam hari. Pagi hari menjadi waktu yang tepat untuk menulis.
Pemenang Nobel Sastra, William Faulkner, pernah mengatakan bahwa ia hanya menulis ketika mendapatkan inspirasi. Dan, hebatnya pula, ia selalu mendapatkan inspirasi itu setiap pukul sembilan pagi.
Saya merasakan nyamannya menulis di pagi hari. Bangun pukul lima pagi, saya memiliki kesempatan untuk menulis sekitar 1 jam lamanya sebelum bersiap-siap menunaikan tugas utama. Nah, kesempatan menulis di pagi hari itulah bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya agar kita produktif berkarya.
Akan tetapi, sebagian orang, tidak terbiasa menulis di pagi hari. Ada yang memilih menuangkan gagasannya pada waktu yang lain, malam hari misalnya. Bagi sebagian penulis, waktu malam hari merupakan saat yang tepat untuk menulis.
Pada saat anggota keluarga berangkat tidur, penulis membuka laptop dan mulai menulis. Diiringi suara-suara serangga malam, penulis mulai menuangkan gagasan-gagasannya. Apakah Anda termasuk di dalamnya?
Minuman dan Makanan Kecil, Perlukah?
Ketiga, siapkan sarana yang memadai. Kegiatan menulis memerlukan dukungan sarana yang memadai. Mungkin berupa meja dan kursi, juga fasilitas lainnya. Tak harus lengkap sekali sih. Seadanya saja sudah cukup. Yang penting, sarana itu memungkinkan penulis untuk bekerja. Di dalamnya, termasuk buku-buku referensi yang dibutuhkan, akses internet, dan lainnya.
Keempat, dampingi diri dengan minuman dan makanan kecil. Hal ini, saya kira, terkait dengan kebiasaan masing-masing penulis. Sekadar sebagai faktor pendukung.
Seorang sahabat saya, kalau sedang bekerja, selalu menyediakan segelas teh atau susu di mejanya, juga sedikit kue. Sambil menulis, ia sesekali menyeruput teh dan menikmati kue. Tampaknya ia nyaman dengan kebiasaan itu dan terbukti ia sangat produktif.
Tetapi, tetap harus hati-hati, jangan sampai makan berlebihan, he he he. Saking asyiknya menulis, kita malah memasukkan terlalu banyak makanan ke dalam tubuh, sesuatu yang mungkin tidak diperlukan. Kalau perut terlalu penuh, bukan kesegaran yang kita peroleh, melainkan rasa kantuk-lah yang datang. Kalau ngantuk, ya, tak bisa konsentrasi, kegiatan menulis pun batal.
Ketika menulis saya biasanya hanya bertemankan air putih saja. Kebiasaan ini sudah lama berlangsung. Sesekali jika pas ada makanan kecil, terutama buah-buahan, akan saya nikmati juga di sela-sela kegiatan menulis.
Kelima, iringi dengan musik. Ada beberapa di antara penulis yang baru bisa in the mood apabila mereka bekerja diiringi musik. Suara musik itu menyemangati dan mengilhami mereka untuk suntuk dan larut dalam proses penulisan. Ide-idenya berhamburan ke luar dari batok kepala saat musik yang mengiringi terdengar mengalun lembut.
Tentang hal ini, A S Laksana menyarankan agar memilih musik yang khusus untuk kegiatan menulis, misalnya musik klasik karya Vivaldi dan Mozart. Menurutnya, dengan alunan musik klasik itu, otot-otot dan pikiran kita akan lebih santai.
"Kita menjadi siap mengerjakan pekerjaan kita dengan lebih nyaman. Dan, ketika kita dalam suasana nyaman dalam mengerjakan sesuatu, maka hasil pekerjaan kita akan lebih memuaskan," tulisnya.
Saya sih tidak tergantung pada musik. Boleh ada musik mengalun lembut, boleh pula tidak. Kerja kepenulisan saya tak tergantung padanya. Tetapi, sesekali memutar musik lembut yang bisa kita akses melalui youtube terasa memberikan rasa nyaman dan dorongan untuk berkarya.
Menulis Tanpa Tekanan, Adakah?
Sebetulnya, kegiatan menulis itu tak menuntut segala sesuatunya beres atau segala sesuatunya harus nyaman atau kondusif. Banyak orang yang tetap menulis kendati suasana sekitarnya tak selalu mendukung. Terkadang  situasi dan kondisi-lah menyebabkan kita tak mempunyai pilihan lain dan tetap harus berkarya.
Banyak penulis yang mengalami masalah keuangan, seperti memiliki tagihan yang belum dibayar, uang bulanan yang hampir habis, anak yang belum membayar uang kuliah dan sewa kontrakan, dan sebagainya. Tetapi, ia memilih tetap meluangkan waktu untuk menulis.
Tak kurang pula penulis yang memiliki masalah dengan kesehatan. Ia mungkin terpapar penyakit tertentu yang baru atau sudah lama diidapnya. Ia mungkin punya masalah dengan kondisi fisik yang tak lagi maksimal lantaran sudah usia, toh ia bisa menanggung beban itu tanpa harus berhenti menulis.
Karen Armstrong, penulis A History of God, bukanlah tanpa masalah ketika ia menjalani perannya sebagai penulis. Justru dengan menulis, ia mendapatkan obat untuk memperingan lukanya dari trauma yang dialami dan penyakit yang dideritanya sejak remaja. Ia juga merasa haus akan dunia spiritual.
Demikian juga dengan Virginia Woolf, sastrawan Inggris yang tak asing lagi dengan berbagai karyanya seperti The Voyage Out dan Night and Day. Jika membaca riwayatnya, kita akan mengetahui bahwa dia menulis sejatinya untuk melepas dan mengurangi gangguan kejiwaan yang dia alamai sejak remaja. Ia mengalami gangguan anorexia (tidak bernafsu makan), sakit kepala, depresi, hipermania (perasaan gembira yang berlebihan), dan lainnya.
Menciptakan Rutinitas Menulis
Sebaik-baiknya menulis adalah menulis dengan suasana yang nyaman. Tetapi, hal seperti itu tak selalu kita dapatkan, tak selalu kita bisa ciptakan. Solusinya adalah, menulis dengan keadaan yang ada.
Yang namanya kenyamanan memang kita butuhkan. Tetapi, kenyataannya, kenyamanan itu tak selalu bisa kita dapatkan. Oleh karena itu, menulis dan menulis sajalah semasih bisa. Justru, menulis bisa menjadi salah satu terapi bagi siapa pun yang mengalami masalah psikologis.
Kita memang harus menciptakan sebuah rutinitas menulis. Dengan begitu, kita bisa terus produktif dan merasakan ketertarikan untuk duduk dan mulai menulis begitu tiba waktu yang kita tetapkan. Pendapat Anda?
( I Ketut Suweca, 30 Agustus 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H