Pembaca, apa yang akan terjadi kalau kita selalu peduli terhadap segala hal dan semua peristiwa yang terjadi di sekeliling kita?Â
Apa pula yang akan terjadi jika kita selalu merasa bahwa semua hal yang kita ketahui kita pandang sebagai bentuk tanggung jawab yang, mau tak mau, mengharuskan kita handle, melibatkan diri?Â
Sebaliknya, bagaimana kalau kita bersikap tak peduli  terhadap semua hal itu, bersikap bodo amat?Â
Semua pertanyaan itu secara gamblang akan dijawab oleh Mark Manson dalam bukunya berjudul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, buku terjemahan dari judul asli The Subtle Art of Not Giving A Fack. Dalam bahasa Indonesia, buku berkulit oranye terang ini diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta.
Buku Istimewa
Di antara banyak buku yang pernah saya baca, buku ini terbilang istimewa. Istimewa? Ya, benar. Pertama, karena konten buku ini mampu mengaduk-aduk pola pikir yang selama ini mungkin sudah diyakini pembaca. Ketika membaca buku bagus setebal 246 halaman ini, pembaca akan dibawa ke arah pemikiran berbeda, bahkan berseberangan dengan pendapat orang pada umumnya.
Kedua, pembaca akan menikmati pola berbahasa dengan gaya bebas. Artinya, apa yang menjadi gagasan sang penulis ditulis sedemikian rupa tanpa tedeng aling-aling. Kata-kata yang mungkin bagi sebagian orang dipandang tabu untuk ditulis, justru Manson menuliskannya secara eksplisit.
Ketiga, buku ini super-duper laris. Benarkah? Buku ini termasuk ke dalam deretan best seller versi New York Times dan Global and Mail. Tentu yang versi aslinya, yang berbahasa Inggris. Versi Bahasa Indonesianya pun tidak kalah! Sejak Grasindo menghadirkannya ke ruang publik dengan cetakan pertama Februari 2018 hingga Oktober 2019, buku ini sudah dicetak ulang ke-30 kalinya. Berarti? Luar biasa laris!
Saya berharap para sahabat kompasianer segera memiliki buku bagus ini. Saya sudah membacanya dan merasakan manfaatnya. Untuk sekadar memperkenalkan bacaan yang membuat saya betah duduk berlama-lama ini, ijinkan saya membahas sedikit saja dari begitu banyak gagasan yang ditebar dengan apik di dalamnya.
Apa Itu Sikap Bodo Amat?
Pertama-tama kita bicarakan apa sih yang dimaksud Manson dengan "bersikap bodo amat"? Sementara kita dianjurkan peduli terhadap orang lain, kok buku ini malah mendorong pembaca untuk tak peduli terhadap sekitar?
Begini. Manson sejatinya mengajak pembaca untuk tidak memberikan perhatian alias ngurusi semua hal yang terjadi. Menurutnya, manusia akan merasa tertekan dan selalu merasa bersalah jika menggunakan konsep berpikir seperti itu. Bukanlah semua hal atau peristiwa yang kita lihat harus menjadi tanggung jawab kita! Tidaklah semua hal harus menyita perhatian kita, kecuali kita ingin dibuat pusing dan tersungkur lantaran sudah memilih sikap ini.
Manson mengajurkan pembaca bukunya untuk memilih hal-hal yang penting dan bermakna dalam hidup dan berfokuslah hanya ke situ. Â "..menemukan sesuatu yang penting dan bermakna dalam kehidupan mungkin menjadi cara yang paling produktif untuk memanfaatkan waktu dan tenaga Anda. Karena, jika tidak menemukan sesuatu yang penuh arti, perhatian Anda akan tercurah untuk hal-hal yang tanpa makna dan sembrono."
Penulis bahkan mengingatkan pembaca bahwa hidup manusia sangat terbatas. Pada saatnya kita semua akan meninggal. Jadi, waktu hidup di dunia ini terbatas adanya. "Dan, jika Anda memedulikan setiap hal dan setiap orang tanpa pertimbangan atau pilihan yang matang---well hidup Anda akan kacau," tulisnya.
Nilai-Nilai Sampah
Tak hanya sampai di situ. Mark Manson kemudian mengaduk-aduk cara berpikir kita dengan mendegradasi beberapa nilai yang mungkin selama ini kita agung-agungkan atau minimal kita jadikan pegangan.
Salah satunya adalah nilai kenikmatan. Barangkali ada orang memandang nilai ini merupakan nilai penting dalam kehidupan, bahkan terpenting. Tetapi, penulis buku menjelaskan bahwa kenikmatan itu memang menyenangkan, namun akan menjadi nilai yang menakutkan jika dia dijadikan prioritas dalam kehidupan.
Bayangkan, misalnya, untuk mengejar kenikmatan seksual orang menjadi "tukang selingkuh" dan menelantarkan keluarga. Akankah nilai ini membuat si tukang selingkuh bahagia? Demikian pula orang yang enggan berhenti makan -- yang memberikan kenikmatan, membuatnya kian lama kian gembul hingga sulit bergerak. Apakah kenikmatan makan tersebut membawa kesehatan?
Nilai lainnya yang dimasukkan sebagai kategori nilai sampah oleh Manson adalah kesuksesan material. Nilai ini mungkin bagi sebagian orang merupakan nilai tertinggi yang wajib dikejar mati-matian. Dengan kesuksesan material, menurut mereka, segala-galanya menjadi mudah.
"Banyak orang mengukur martabat mereka berdasarkan pada seberapa besar penghasilan mereka atau mobil jenis apa yang mereka kendarai atau apakah rumput di halaman rumah mereka lebih hijau dan indah daripada milik tetangga sebelah."
Masalah akan muncul ketika penempatan nilai kesuksesan material itu menjadi berlebihan, bahan berada di atas nilai lainnya, seperti kejujuran, anti kekerasan, dan kasih sayang. "Ketika orang sudah mengukur dirinya semata-mata dengan aneka simbol status yang mereka kumpulkan, bukan hanya mereka termasuk manusia yang dangkal, juga mereka adalah orang-orang bangsat," cetus Manson.
Nilai sampah berikutnya adalah selalu benar. Otak manusia terbatas adanya. Ia bisa lupa karena keterbatasan kognitif dan lainnya. Maka, wajarlah manusia bisa lupa, yang tak hanya terjadi dalam satu atau dua kali, bahkan berkali-kali sepanjang hidup.
"Otak kita mesin yang tidak efektif. Secara konsisten kita bisa membuat asumsi yang buruk, peluang yang keliru, ingatan yang salah terhadap suatu fakta, bias kognitif, dan keputusan berdasarkan gejolak emosi," tulis Manson. Jadi setiap orang dari kita tak bisa selalu benar, apalagi merasa selalu benar sendiri.
Yang terakhir dari empat nilai sampah yang disebutkan Manson adalah tetap positif. Menurutnya, kita tak selalu bisa tetap positif menghadapi semua persoalan hidup. Karena sesuatu hal, maka kita acap terbawa emosi negatif. Hal ini sangat manusiawi sifatnya. Pada kenyataannya, orang tak akan sanggup memandang dan mengalami segala sesuatu dengan tetap positif.
Menurut penulis buku ini, terus-menerus menuntut diri bersikap positif justru merupakan salah satu bentuk pengelakan terhadap masalah, dan bukan cara yang tepat untuk menyelesaikannya "... masalah-masalah boleh jadi justru menguatkan dan memotivasi Anda, seandainya Anda bisa memilih nilai dan ukuran yang benar," papar Manson.
Seperti saya katakan di atas, buku ini bisa membuat pembacanya terguncang. Bisa menolak mentah-mentah konsep berpikir yang ditawarkan, bisa pula menjadikan pembaca meninjau kembali keyakinannya selama ini terhadap nilai tertentu yang sudah dijadikan pegangan hidup. Dan, bukan tidak mungkin, pada akhirnya pembaca meng-iya-kan konsep ini, lalu mengadopsinya ke dalam ruang pikir dan mempraktikkanya dalam kehidupan nyata.
Mana yang akan dipilih, terserah pembaca. Pembaca bebas menentukan pilihan.
(Â I Ketut Suweca, 11 Juli 2020).
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H