Ada orang berkeyakinan bahwa tak sembarang orang bisa menjadi penulis.
Hanya orang-orang tertentu yang berbakat yang bisa menjadi penulis.
Hanya orang yang bersedia melatih diri siang-malam dalam waktu lama yang bisa menjadi penulis.
Dan, hanya orang yang siap hidup menyepi yang bisa menjadi penulis.
Mereka, para penulis itu, mewariskan ilmu pengetahuan melalui naskah dan buku-buku yang mereka tulis.
Penulis adalah manusia terpilih, manusia istimewa.
Mempertanyakan Bakat
Mendengar argumentasi semacam itu, saya jadi penasaran sehingga ingin melihatnya lebih jauh. Benar bahwa untuk menjadi penulis diperlukan kerja keras yang memakan waktu.Â
Untuk mendapatkan predikat penulis yang pantas, orang harus menunjukkan puncak-puncak karya. Kesabaran dan perjuangan panjang yang disertai dengan konsistensi sangat dibutuhkan. Perjalanan menuju puncak yang sama sekali tidak mudah.
Tetapi, untuk menjadi penulis haruskah berbakat? Bakat itu penting, memang. Namun, bakat saja tentu masih jauh dari cukup. Diperlukan upaya-upaya mewujudkan bakat itu menjadi kenyataan. Orang tak akan pernah bisa mengandalkan bakat semata untuk menjadi penulis.
Bakat hanyalah sebuah potensi. Namanya potensi, tentu saja masih terpendam. Bagai mutiara, ia harus diangkat dari kedalaman dasar lautan, lalu dibersihkan, ditatah, dibingkai menjadi hiasan yang bernilai tinggi.