Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ingin Seperti Pohon yang Kokoh Tinggi Menjulang? Perkuatlah Akar!

21 Januari 2020   20:35 Diperbarui: 29 Maret 2020   04:48 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/620652392383678523/

Ajakan menggelitik yang ditawarkan redaksi kompasiana tentang jurus mencapai posisi jabatan idaman di level pimpinan dalam suatu institusi mengantarkan saya menulis artikel sederhana ini. Pilihan topik ini menjadi tepat karena hingga saat ini banyak orang masih kebingungan mengenai hal-hal apa saja yang membawa seseorang mencapai puncak prestasi sekaligus mencapai posisi sebagai leader.

Pertanyaan pokoknya adalah: apa yang menyebabkan seseorang bisa sampai di level pimpinan, bahkan pimpinan tertinggi dalam suatu lembaga atau perusahaan? Mengapa ada dua orang kurang lebih sama cerdasnya dan dari perguruan tinggi yang sama, namun ketika berkarier, yang satu jauh lebih pesat lajunya daripada yang lain? Pertanyaan seperti ini hingga sekarang masih terus berusaha dicarikan jawabannya oleh para ahli dan peneliti.

Pada kesempatan ini, ijinkan penulis mengetengahkan sejumlah faktor yang menjadi pendorong atau stimulus sehingga seseorang bisa berhasil dalam menjalani karier hingga sampai di level pimpinan. Penulis melihat faktor-faktor penyebab itu didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman bekerja di lembaga pemerintahan di samping di organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan. Dan, faktor-faktor inilah, yang menurut penulis, dapat mengantarkan siapa pun mencapai level pimpinan asalkan dilaksanakan secara konsisten.

Paling tidak terdapat 4 (empat) faktor utama yang menentukan keberhasilan seseorang dalam berkarier. Keempat-empatnya merupakan persyaratan dasar yang menjadi landasan penilaian pada umumnya, terlepas dari upaya-upaya negatif seperti yang ditengarai sejumlah orang seperti kepandaian cari muka, kemampuan menjilat, memuji-muji bos karena ada maunya, dan yang sejenis dengan itu.

Dan, saya percaya, pendekatan yang disebutkan terakhir itu tak akan menjamin kelanggengan posisi dalam jabatan, karena pasti akan diuji oleh waktu. Orang yang benar-benar berkualitaslah yang bisa ajeg atau bahkan merangkak terus naik hingga ke puncak. Sebaliknya, mereka yang hanya mengandalkan jurus "shortcut" niscaya sulit baginya untuk tetap bertahan. Akhirnya, kualitas diri-lah yang menentukan, bukan kepiawaian menjilat.

Pertama, integritas. Saya mendefinisikan integritas sebagai keselarasan antara pikiran, ucapan, dan tindakan. Di dalamnya, terutama ada kejujuran, pribadi yang bisa diandalkan, dan tanggung jawab atas apa yang diperbuat, atas tugas yang diberikan. Orang yang tak jujur, yang munafik -- yang lain di mulut lain pula di hati, bukanlah orang yang berintegritas.

Integritas juga dicerminkan oleh adanya kesediaan bekerja secara tulus dan penuh tanggung jawab, tidak semata-mana berhitung tentang "apa dan berapa saya dapatkan." Jika suatu saat ia digoda untuk melakukan hal-hal yang menyalahi aturan, maka yang pertama-tama menolak adalah hati kecil-nya. Ia benar-benar bisa diandalkan untuk melakukan segala sesuatu yang selaras dengan norma moral dan norma hukum yang berlaku.

Orang-orang seperti ini bukanlah manusia langka. Tidak terlalu sulit kita temukan orang yang memiliki integritas diri, yang menyadari benar bahwa kejujuran dalam bekerja adalah hal yang utama. Bahwa, ketulusan dalam bekerja selalu menjadi landasan. Dan, bahwa rasa tanggung jawab terhadap kepercayaan (trust) yang diberikan pimpinan selalu diemban dan dijaga dengan baik.

Jadi, ketika siapapun hendak mempersiapkan diri untuk menapaki jalan menuju puncak, mau tak mau harus memiliki integritas, sebuah nilai dasar yang sudah melekat kuat di dalam batin. Bukan nilai yang tiba-tiba muncul bersamaan dengan kepura-puraan, melainkan nilai yang sudah menjadi jati diri.

Kedua, sinergitas. Ketika bekerja dalam sebuah organisasi, kita tentu akan berhubungan dan/atau bekerjasama dengan orang lain. Kita tak bisa bekerja sendiri, tak bisa maju seorang diri. Kemajuan harus dihela bersama-sama. Maka, faktor mendasar kedua yang dimiliki sang kandidat pemimpin adalah kemampuan bersinergi.

Kemampuan bersinergi tiada lain adalah kemampuan bekerjasama dengan orang lain di dalam sebuah organinasi. Sinergitas diartikan sebagai perpaduan sempurna dari semua orang yang terlibat untuk mencapai tujuan. Tak sekadar berkumpul secara fisik, bahkan secara pikiran dan langkah. Dengan kata lain: satu pikiran dan satu langkah bersama menuju tujuan bersama.

Tidak mudah memang mengondisikan sinergitas ini, karena rambut boleh hitam, tapi pikiran bisa berbeda. Tugas yang terlibat, juga tugas sang koordinator adalah bagaimana menyatukan kekuatan yang beragam ini ke satu tujuan bersama.

Sinergitas secara matematis tidak dirumuskan 2 + 2 = 4, melainkan bisa jadi 5, 7, bahkan lebih. Secara filosofis hal ini mengandung makna bahwa dengan bersinergi, kekuatan yang berhasil dibangun dan dicapai sungguh sangat dahsyat.

Sampai di sini, saya jadi teringat dengan konsep Bupati Banyuwangi, Bapak Azwar Anas, sebagaimana dipaparkan oleh salah seorang pegawainya. Dikatakan, Pak Bupati Banyuwangi memiliki keyakinan bahwa untuk mencapai kemajuan di bidang apapun dan dengan akselerasi yang tinggi diperlukan teamwork yang solid. "Di sini tak ada manusia super (superman), yang ada adalah tim yang super (superteam)," ujar pegawai setempat menyitir  ucapan Bupatinya.

Inti dari superteam adalah sinergitas yang kuat di dalamnya. Maka, jika ingin maju, orang harus bisa membuktikan diri sebagai bagian dari teamwork yang berprestasi tanpa menjatuhkan siapapun, sebelum mampu menjadi bagian dari penggerak tim tersebut. Ketika seseorang didaulat menjadi pimpinan, maka ia harus mampu berada dalam tim yang solid dan bersinergi, yang mengantarkannya pada kesuksesan menjadi pemimpin.

Ketiga, kemampuan berkomunikasi. Ini sangat dekat kaitannya dengan kemampuan bersinergi yang sudah dibicarakan di atas. Orang boleh terampil atau ahli di bidang kedokteran. Orang boleh hebat di bidang teknik. Orang boleh jago di bidang apapun. Tetapi, jika ia tak memiliki  "human relations" yang mengoneksikan dirinya dengan orang lain, maka keberhasilannya menuju level pimpinan niscaya akan terhambat.

Menjadi pimpinan membutuhkan kemampuan kepekaan pada psikologi manusia, memerlukan human relations sebagai inti dari komunikasi. Bentuk nyatanya: ia mampu menghormati orang lain, bersikap sopan, bisa berempati, menghargai pendapat orang lain, menularkan semangat, mampu menjadi pendengar yang baik -- alih-alih hanya menjadi pembicara, dan hal-hal yang berkaitan dengan psikologi hubungan antarmanusia.

Tidaklah banyak manfaatnya sebuah keterampilan atau keahlian tanpa dibarengi dengan kemampuan human relations yang baik. Perlu diingat bahwa manusia, siapapun dia, lebih banyak dikendalikan oleh perasaan daripada rasionya. Banyak ahli psikologi sudah mengingatkan kita akan hal ini. Walaupun maksud seseorang pada dasarnya baik, tetapi jika disampaikan dengan cara yang salah, maka bukan tidak mungkin akan diterima salah. Maka, komunikasi yang efektif harus dikuasai dengan baik oleh para kandidat pimpinan.

Keempat, profesionalisme. Profesionalisme, menurut penulis, adalah sikap dan perilaku kerja yang didasarkan pada keahlian. Dan, dengan modal itu, orang akan dihargai, apapun bentuk penghargaan itu. Untuk mencapai profesionalitas, maka orang mesti memiliki kompetensi di bidangnya. Kompetensi itu bisa diperoleh dari pendidikan, fomal maupun nonformal. Tingkat profesionalitas diukur dari hasil karya. Suatu hasil pekerjaan disebut baik jika dikerjakan secara profesional.

Untuk menjadi dan merawat profesionalisme, seseorang tak boleh berhenti belajar. Ia harus menjadi pembelajar sejati, yang selalu berusaha meningkatkan kualitas dari waktu ke waktu. Ia tak boleh puas dengan apa yang sudah dicapai atau dikuasainya saat ini. Ia harus terus-menerus belajar dengan berbagai upaya, sehingga bisa senantiasa mengikuti perkembangan zaman yang terus berubah.

Jika dia membiarkan dirinya berada di zona nyaman, maka tak lama lagi ia akan seperti katak rebus: katak yang tak menyadari peningkatan suhu air dalam periuk di atas kompor menyala tempat dia berada yang meningkat perlahan-lahan sampai pada akhirnya ia tak berdaya dan mati terebus di situ.

Integritas, sinergitas, komunikasi, dan profesionalisme merupakan peryaratan dasar untuk bergerak menuju level pimpinan. Semakin tinggi level yang dikehendaki, semakin meningkat kualitas peryaratan yang dipenuhi.

Keempat faktor ini tak melulu dibutuhkan ketika melangkah menuju jabatan idaman, ketika seseorang berada di level jabatan pimpinan pun hal ini harus dijadikan pegangan. Seperti pohon yang menjulang tinggi ke langit, ia akan paling keras diterpa angin. Yang membuatnya kokoh adalah akar-akarnya yang menghujam masuk jauh ke dalam tanah. Keempat peryaratan itulah laksana akar-akar pohon itu.

( I Ketut Suweca, 21 Januari 2020).    

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun