Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/620652392383678523/
Ajakan menggelitik yang ditawarkan redaksi kompasiana tentang jurus mencapai posisi jabatan idaman di level pimpinan dalam suatu institusi mengantarkan saya menulis artikel sederhana ini. Pilihan topik ini menjadi tepat karena hingga saat ini banyak orang masih kebingungan mengenai hal-hal apa saja yang membawa seseorang mencapai puncak prestasi sekaligus mencapai posisi sebagai leader.
Pertanyaan pokoknya adalah: apa yang menyebabkan seseorang bisa sampai di level pimpinan, bahkan pimpinan tertinggi dalam suatu lembaga atau perusahaan? Mengapa ada dua orang kurang lebih sama cerdasnya dan dari perguruan tinggi yang sama, namun ketika berkarier, yang satu jauh lebih pesat lajunya daripada yang lain? Pertanyaan seperti ini hingga sekarang masih terus berusaha dicarikan jawabannya oleh para ahli dan peneliti.
Pada kesempatan ini, ijinkan penulis mengetengahkan sejumlah faktor yang menjadi pendorong atau stimulus sehingga seseorang bisa berhasil dalam menjalani karier hingga sampai di level pimpinan. Penulis melihat faktor-faktor penyebab itu didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman bekerja di lembaga pemerintahan di samping di organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan. Dan, faktor-faktor inilah, yang menurut penulis, dapat mengantarkan siapa pun mencapai level pimpinan asalkan dilaksanakan secara konsisten.
Paling tidak terdapat 4 (empat) faktor utama yang menentukan keberhasilan seseorang dalam berkarier. Keempat-empatnya merupakan persyaratan dasar yang menjadi landasan penilaian pada umumnya, terlepas dari upaya-upaya negatif seperti yang ditengarai sejumlah orang seperti kepandaian cari muka, kemampuan menjilat, memuji-muji bos karena ada maunya, dan yang sejenis dengan itu.
Dan, saya percaya, pendekatan yang disebutkan terakhir itu tak akan menjamin kelanggengan posisi dalam jabatan, karena pasti akan diuji oleh waktu. Orang yang benar-benar berkualitaslah yang bisa ajeg atau bahkan merangkak terus naik hingga ke puncak. Sebaliknya, mereka yang hanya mengandalkan jurus "shortcut" niscaya sulit baginya untuk tetap bertahan. Akhirnya, kualitas diri-lah yang menentukan, bukan kepiawaian menjilat.
Pertama, integritas. Saya mendefinisikan integritas sebagai keselarasan antara pikiran, ucapan, dan tindakan. Di dalamnya, terutama ada kejujuran, pribadi yang bisa diandalkan, dan tanggung jawab atas apa yang diperbuat, atas tugas yang diberikan. Orang yang tak jujur, yang munafik -- yang lain di mulut lain pula di hati, bukanlah orang yang berintegritas.
Integritas juga dicerminkan oleh adanya kesediaan bekerja secara tulus dan penuh tanggung jawab, tidak semata-mana berhitung tentang "apa dan berapa saya dapatkan." Jika suatu saat ia digoda untuk melakukan hal-hal yang menyalahi aturan, maka yang pertama-tama menolak adalah hati kecil-nya. Ia benar-benar bisa diandalkan untuk melakukan segala sesuatu yang selaras dengan norma moral dan norma hukum yang berlaku.
Orang-orang seperti ini bukanlah manusia langka. Tidak terlalu sulit kita temukan orang yang memiliki integritas diri, yang menyadari benar bahwa kejujuran dalam bekerja adalah hal yang utama. Bahwa, ketulusan dalam bekerja selalu menjadi landasan. Dan, bahwa rasa tanggung jawab terhadap kepercayaan (trust) yang diberikan pimpinan selalu diemban dan dijaga dengan baik.
Jadi, ketika siapapun hendak mempersiapkan diri untuk menapaki jalan menuju puncak, mau tak mau harus memiliki integritas, sebuah nilai dasar yang sudah melekat kuat di dalam batin. Bukan nilai yang tiba-tiba muncul bersamaan dengan kepura-puraan, melainkan nilai yang sudah menjadi jati diri.
Kedua, sinergitas. Ketika bekerja dalam sebuah organisasi, kita tentu akan berhubungan dan/atau bekerjasama dengan orang lain. Kita tak bisa bekerja sendiri, tak bisa maju seorang diri. Kemajuan harus dihela bersama-sama. Maka, faktor mendasar kedua yang dimiliki sang kandidat pemimpin adalah kemampuan bersinergi.