Agung Adiprasetyo. Begitulah nama pengarang buku "Melihat Terang" yang kita bicarakan kali ini. Buku terbitan tahun 2017 ini bermula dari obrolan di radio Smart FM bersama seorang penyiar radio setempat.Â
Acara di radio itu bertajuk Smart Enlightening People. Nah, isi obrolan Agung Adipraseto dengan penyiar Ola Nurlija itulah yang kemudian dibuat ke dalam bentuk buku. Itulah sebabnya, ketika kita membaca buku ini seakan kita "mendengarkan" obrolan. Judul buku ini sendiri ada embel-embel di bawahnya "Obrolan Soal Menikmati Hidup, Memacu Semangat, dan Menjadi Juara."
Agung Adiprasetyo menerbitkan beberapa judul buku. "Melihat Terang" adalah salah satu bukunya yang lumayan menarik untuk dinikmati di kala senggang. Buku Agung yang lain, "Memetik Matahari" dan "Menjaga Api." Buku terakhir yang saya dapatkan di toko buku berjudul "Raksasa Mati Gaya" akan saya perkenalkan belakangan. Memang, judul-judul buku karya Agung cukup menarik dan menggoda pembaca untuk mengetahui isinya lebih lanjut.
Buku Melihat Terang
Baiklah, pada kesempatan pertama, mari kita kupas sedikit tentang buku "Melihat Terang" karya mantan CEO Kompas Gramedia ini. Dari banyak topik yang dibicarakan, hanya beberapa yang akan sya perkenalkan isinya. Sisanya, saya serahkan kepada sahabat kompasianer untuk membaca buku ini lebih lanjut. Mari kita mulai melihat sedikit konten buku ini.
Pertama, hati-hati dalam menggeneralisasi. Penulis buku mengingatkan kita untuk tidak begitu saja mengambil kesimpulan dengan pola generalisasi yang keliru. Generalisasi, sebagai ditulis Agung, adalah pemikiran yang menganggap sebuah kasus, atau kejadian, atau satu hal, bisa ditarik menjadi kesimpulan umum dan kita pandang semuanya pasti begitu." (hal. 6).
Misalnya, Â Agung mencontohkan, ada satu orang dari satu daerah tertentu yang kebetulan pelit, maka kita bilang semua orang dari daerah itu pasti pelit. Kalau kita pernah dikibuli saat berpartner bisnis dengan seseorang dari daerah tertentu, lalu kita bilang : "Hati-hati kalau bekerja sama dengan orang dari daerah itu semua tukang tipu!," tulis Agung. Dikatakannya, kesalahan menggeneralisasi seperti ini bisa membuat orang salah sangka, bahkan menjerumuskan.
Kedua, tentang membangun kepercayaan. Dikatakan oleh penulis buku ini, bahwa kejujuran dan integritas adalah modal untuk mendapatkan kepercayaan. "Kepercayaan  memang bukan cerita, dan bukan omongan. Boleh saja seseorang sampai menyebut-nyebut nama Tuhan, nama Nabi, atau nama orangtua untuk meyakinkan orang lain supaya percaya pada dirinya. Tetapi, hasilnya, belum tentu orang percaya," tegas penulis buku ini (hal.12).
Dijelaskan juga bahwa kepercayaan tidak datang serta merta atau tiba-tiba. "Kepercayaan itu harus dibangun, butuh waktu, sampai orang lain yakin kalau kita memang layak dipercaya," papar Agung Adiprasetyo dalam buku ini.Â
Penulis kemudian mencontohkan orang yang mengajukan kredit pinjaman di bank. Walaupun yang bersangkutan berdandan sangat rapi, memakai kalung emas berlian, pihak bank tak akan percaya begitu saja hanya dengan melihat penampilan seseorang. Bank membutuhkan keyakinan bahwa orang tersebut memang layak dipercaya.Â
Dan, ujar penulis buku ini, kepercayaan butuh konsistensi dalam sikap. Kalau, misalnya, seseorang mengambil kredit kecil lalu secara terus menerus mengangsur dengan rajin dan tepat waktu, maka kemungkinan nantinya ia akan mendapat kredit yang lebih besar. Inilah sebentuk kepercayaan.