Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hidup Kaya = Hidup Bahagia, Benarkah?

29 Desember 2012   03:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:52 1442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang tak berpunya acap bergumam: “Kalau saja saya memiliki semuanya, pasti saya kan bahagia. Ada lagi yang berucap:“Kalau saya kaya, saya tak lagi pusing ketika ingin membeli ini-itu. Semuanya ada dalam jangkauan. Yang terpenting ada uang.” Begitulah kurang-lebih pendapat sebagaian orang yang merasa “belum kaya” atau “tidak kaya.” Sebagian orang masih beranggapan bahwa segala sesuatunya akan beres dan terkendali apabila sudah ada limpahan uang di tangan.

Sesungguhnya konsep “kaya” itu sangat relatif. Setiap orang memiliki pengertian yang berbeda terhadap istilah “kaya” ini. Ada yang merasa kaya kalau punya kekayaan 10 miliar di bank. Ada yang menyebut dirinya sebagai bagian dari orang-orang kaya jika sudah memiliki 3 mobil pribadi, 3 rumah pribadi, dan (maaf) 3 istri (satu resmi, dua ya ya ya). Yang lain bilang, saya baru merasa kaya kalau saya punya  seratus ekor sapi, sawah ladang 80 ha, dan bebek sekandang besar (nggak tahu sebesar apa kandangnya, he he he).

Tapi, menurut Anda, setelah “impian” itu tercapai oleh mereka yang ingin kaya itu, benarkah ia bahagia? Betulkah kekayaan yang dimiliki itu serta-merta bakal membuat bahagia? Kalau Anda bilang “ya”, saya bilang sebentar dulu. Ada hasil penelitian yang bertolakbelakang dengan pandangan itu.

Baru-baru ini, Kompas (23/12/2012) melaporakan hasil survei Gallup pada tahun 2011. Lembaga riset tersebut mewawancari hampir 150.000 responden di 148 negara di dunia. Hasilnya, Singapura adalah negara yang penduduknya paling tidak bahagia di dunia. Padahal, kurang apa lagi negara tetangga kita itu? Yang mengejutkan, seperti dimuat Kompas, negara-negara yang masuk 10 besar daftar negara yang penduduknya bahagia bukanlah negara yang kaya dan makmur. Panama, negara yang berada di urutan ke-90 dalam produk domestik bruto per kapita menempati peringkat pertama: penduduknya paling bahagia di dunia. Yang termasuk 10 besar negara yang masyarakatnya bahagia di bawah Panama ialah Paraguay, El Savador, Venezuela, Trinidad-Tobago, Thailand, Guatemala, Filipina, Ekuador, dan Kosta Rika. Indonesia berada berada di urutan ke-19.

Dominasi negara-begara Amerika Latin pada daftar 10 besar diduga terkait dengan nilai-nilai dasar budaya masyarakat di kawasan ini.

Masyarakat dari negara-negara yang kaya, ternyata tak (selalu) bahagia. Bahkan, ada kecenderungan mereka merasa tidak bahagia. Mereka tidak bahagia karena tidak bisa menikmati hidup (yang sesungguhnya indah ini, he he he). Rupanya orang-orang kaya dan memiliki karier yang sangat bagus cenderung memandang leisure (kesantaian) itu sebagai sebuah kemalasan yang harus dihindari. Mereka berpandangan bahwa hidup adalah kerja, kerja, dan kerja. Alhasil, mereka tak bisa (baca : tak sempat) menikmati hidup. Kesibukannya dengan pekerjaan menyebabkan mereka selalu dalam keadaan in work hard.

Rupanya kebahagiaan itu tak setali tiga uang dengan kebahagiaan. Walau orang mapan secara finansial belum tentu ia bahagia. Mengapa? Penelitian di atas memberikan gambaran bahwa bahagia atau tidak bahagia itu lebih karena sikap seseorang/masyarakat dalam memandang/menyikapi hidup dan kehidupan. Apakah hidup melulu untuk kerja tanpa boleh menikmati hasil dari kerja keras itu?Kebudayaan setempat memberikan warna pada tingkat kebahagiaan seseorang. Budaya kompetitif yang keras apalagi intimidatif cenderung membawa masyarakat tidak bahagia, bahkan mengundang terjadinya kasus bunuh diri. Sebaliknya, kehidupan yang berkombinasi berimbang antara kerja dan kemampuan menikmati hasil, cenderung membuat orang bahagia.

Nah, sudahkah kita (merasa) hidup berbahagia?

( I Ketut Suweca , 29 Desember 2012).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun