Terkait dengan pemilihan jurusan di PT, saya ketengahkan tiga kasus nyata yang berbeda. Silakan menyimaknya, dan mohon sahabat berkenan membantu memberikan komentar atau jalan keluar terbaik dari sisi pendekatan pendidikan.
Kasus pertama: Saya mempunyai teman berprofesi dokter. Anehnya, ia emoh buka pratik dokter swasta-nya. Kalaupun terpaksa buka, pasien nyaris tak ada. Ketika kami bersama-sama mengikuti pendidikan kepemimpinan, saya perhatikan teman saya ini kelihatan sangat doyan di depan laptop-nya. Karenanya, oleh kami di dalam satu kelompok, Pak Dokter kita yang baik hati ini ditugasi untuk mengetik semua tugas kelompok kami. Dan, dia melakukannya dengan senang hati. Suatu kali saya nyeletuk sekenanya: “Pak Dokter, sepertinya Bapak senang sekali berkomputeria”. Jawabannya sungguh di luar dugaan. “Yaaa, dulu saya kuliah di kedokteran hanya untuk membuat senang orangtua, padahal saya sama sekali tak suka. Saya malah sangat senang dengan ilmu komputer,” ujarnya bersungguh-sungguh. Belakangan saya tahu, dia tak melanjutkan ke spesialis lantaran tak suka ilmu kedokteran.
Kasus kedua: Seorang siswa dikenal sangat pintar di bidang fisika di sekolahnya sehingga dia bisa mengikuti olimpiade fisika tingkat nasional. Dia sukses di situ, dan dari sejumlah keberhasilannya di bidang mata pelajaran ini, akhirnya dia diterima di sebuah perguruan tinggi ternama di Indonesia. Atas dorongan orangtuanya, dia mengambil jurusan komputer karena dipandang lulusannya laris di pasaran. Apa yang terjadi? Sang anak mengalami kesulitan yang besar untuk mengikuti perkuliahan. Pada awalnya, dengan modal kecermelangan otak, si orangtua optimis si anak akan bisa menyesuaikan diri dengan materi perkuliahan. Lalu, setelah berjalan beberapa lama, si anak ini acap menangis: mendapatkan dirinya salah pilih! Dia kini harus berjuang keras untuk mengikuti pelajaran kalau mau berhasil dan pulang membawa ijasah. Kalau mundur/berhenti, malunya bakal setengah mati. Apalagi, pihak sekolah, keluarga, para sahabat, sudah memberikan ucapan selamat untuk kesuksesannya masuk di PT ternama itu.
Kasus ketiga: Seorang anak baru tamat SMA tembus ke salah satu perguruan tinggi peringkat atas di Indonesia. Saat hendak memilih jurusan/program studi, orangtuanya diajak berdiskusi. Sebagai orang yang belum tahu tentang penjurusan di PT, ia bertanya banyak tentang hal itu. Sang orangtua sudah memperhatikan minat si anak sejak lama. Ia membeberkan pilihan program studi yang diketahuinya dan mendorong sang anak untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber/media yang ada. Orangtuanya sudah melihat kira-kita ke mana passion si anak. Kalau tidak di jurusan komunikasi, psikologi, mungkin di jurusan agama. Orangtuanya memberikan pertimbangan tentang hal-hal yang terkait dengan jurusan/program studi itu. Lalu, si anak memilih satu jurusan yang paling diminatinya. Kebetulan sesuai dengan alternative pilihan yang disampaikan orangtuanya. Apa hasilnya? Begitu ia kuliah, si anak merasakan betapa senangnya mempelajarai ilmu yang sesuai dengan minat/bakatnya. Dia menyatakan kegembiraannya mengikuti perkuliahan demi perkuliahan. Orangtuanya di rumah yang dilapori hal itu juga merasa senang.
Ketiga kasus itu memberikan “pelajaran”kepada kita para orang tua: apakah kita akan menentukan (baca :memaksakan) kehendak terhadap si anak dengan berbagai dalih dalam pemilihan jurusan, ataukah hanya memberikan pertimbangan seraya menyilahkan si anak memilih sesuai dengan minat/bakat/passion-nya? Bagaimana pendapat para sahabat kompasianer?
(I Ketut Suweca , 26 Desember 2012).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H