Hubungan batinku dengan ayah demikian kuat. Kalau ayah merindukan kehadiranku di dekatnya, aku yang berada di rantau, sering merasakan kerinduan yang sama. Seperti ada tali telepati di antara kami. Hal ini aku pastikan, karena ketika pulang dan begitu tiba di rumah, acapkali ayah berkata: " Baru saja ayah mengingatmu, Ketut."
Kami sering merasa kangen karena tinggal berjauhan. Beliau di rumah, aku di rantau untuk bekerja dan bersekolah. Jadilah setiap pulang kampung aku selalu sempatkan curhat dengan ayah. Kadangkala sambil duduk-duduk santai, sering pula sambil membantunya menyabit rumput untuk 2 ekor sapi peliharaannya. Atau, sambil mencari dedaunan untuk makanan beberapa ekor kambing yang dikandangkan di kebun belakang rumah. Tidak sulit mendapatkan makanan sapi atau pun kambing-kambing itu, karena rumput dan dedaunan bukanlah barang langka di desa kami. Sembari bekerja, kami ngobrol.
Pada suatu hari, sambil duduk-duduk santai di kursi ruang tamu, beliau berkata: "Ketut, teruslah belajar. Ayah sudah bodoh, hanya tamat PBH (Pemberantasan Buta Huruf). Ayah tak ingin anak-anak ayah ikut-ikutan bodoh. Ketut harus belajar lebih baik, dengan sungguh-sungguh. Tapi, ayah ingin agar Ketut memelihara kerendahan hati. Jangan pernah bersikap sombong terhadap siapa pun. Hormati orang lain." Aku yang dinasihati seperti itu tertegun, terharu, suatu perasaan yang sulit digambarkan dengan kata-kata yang tepat. Aku hanya bisa mengangguk seraya berusaha mengendapkan nasihat itu ke dalam hati.
Hingga kini, pesan ayah selalu terngiang di hati. Belajarlah. Tapi, jangan sombong! Itulah intinya. Setiap kali berbicara kepada orang lain, siapa pun dia, nasihat ayah selalu teringat. Aku senantiasa berusaha menjaga kata-kata dan perilaku agar tak terkesan menyombongkan diri yang sebetulnya tidak ada apa-apanya ini. Kadang-kadang berhasil, kadang-kadang juga tidak. Diam-diam, aku juga mencoba mewujudkan harapan ayah agar aku terus belajar. Terutama belajar secara nonformal/informal tentang hal-hal yang berguna untuk pertumbuhan diri dari siapa pun.
Ayahku sangat keras dalam hal disiplin. Maklum saja, dia mendapatkan gemblengan tentara Nippon pada jamannya. Kalau di antara kami ada yang membandel alias tidak disiplin, tak segan-segan beliau memecut pinggang kami dengan pecut sapi yang biasa digunakannya saat membajak sawah. Karena takut dipecuti terus, aku pernah bersembunyi di tengah rerimbunan tanaman padi yang menguning di sawah. Berat memang, tetapi semua itu membawa hikmah bagi pembinaan disiplin kami sekeluarga.
Aku masih ingat, ketika berhasil menjadi lulusan terbaik pada yudisium di level S1, dulu, ayah membelikanku sebuah sepeda motor Vespa second. Beliau tampak bahagia sekali karena aku berhasil menyelesaikan pendidikan S1 dengan baik, sesuai dengan harapannya. Tapi, tahukah sahabat, dari mana uang yang dipakai membeli Vespa itu? Uang itu dikumpulkannya dalam jangka waktu berbulan-bulan, bahkan mungkin tahunan. Uang itu terkumpul dari menjual daun pisang dan kayu bakar. Kayu bakar yang dikumpulkan, daun pisang yang diambil dari tegalan belakang rumah, beliau jual ke warung terdekat. Dapat lima ribu, dapat sepuluh ribu rupiah, dikumpulkan dan ditabung di bank. Akhirnya, yang sedikit demi sedikit itu terbukti lama-lama menjadi bukit. Uang tabungan itulah sebagian beliau pergunakan untuk membelikanku Vespa sebagai hadiah.
Sebagai anak, tentu saja aku sangat berterima kasih atas jerih-payah beliau yang berjuang sebagai single parent (karena sudah lama ditinggal pendampingnya). Ya, ibuku meninggal saat aku menjelang tamat SMA. Kendati belakangan ayah menyusul Ibu ke haribaan Tuhan, pesan beliau tak lekang oleh waktu. Nasihatnya terukir dalam-dalam di benakku.
Terima kasih, ayah, terima kasih. Yang kusesali, aku tak sempat membalas kebaikan ayah.
( I Ketut Suweca , 20 Februari 2012).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H