Mohon tunggu...
ECOFINSC UNDIP
ECOFINSC UNDIP Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Study Finance FEB UNDIP

ECOFINSC FEB UNDIP adalah organisasi mahasiswa berbentuk kelompok studi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian mengenai permasalahan perekonomian maupun keuangan di lingkup nasional maupun internasional. Lebih lanjut mengenai ECOFINSC dapat di akses melalui https://linktr.ee/Ecofinscfebundip

Selanjutnya

Tutup

Financial

Evaluasi Potensi dan Tantangan Penerapan Central Bank Digital Currency (CBDC) di Indonesia

1 November 2024   15:45 Diperbarui: 1 November 2024   15:55 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Evaluasi penerapan Central Bank Digital Currency (CBDC) di Indonesia semakin relevan mengingat pesatnya digitalisasi sektor keuangan di tengah perkembangan teknologi finansial. Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, memiliki tingkat penetrasi internet yang mencapai 76% pada tahun 2023, yang memungkinkan masyarakat semakin terhubung secara digital. Berdasarkan data Bank Indonesia, pada kuartal pertama 2023 transaksi digital mencapai lebih dari Rp7.400 triliun, meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya potensi besar dalam mengadopsi CBDC sebagai alternatif pembayaran yang lebih aman, efisien, dan transparan. Selain itu, CBDC juga berpotensi meningkatkan inklusi keuangan di wilayah yang belum terjangkau layanan perbankan.

Namun, dibalik potensi tersebut, terdapat beberapa tantangan yang harus diatasi sebelum CBDC dapat diterapkan di Indonesia. Salah satunya adalah infrastruktur teknologi dan keamanan data yang perlu diperkuat untuk menghindari risiko siber. Bank Indonesia juga perlu mempertimbangkan dampak CBDC terhadap stabilitas moneter dan perbankan, terutama jika CBDC secara signifikan mengurangi permintaan terhadap uang tunai atau layanan perbankan konvensional. Tantangan lainnya adalah rendahnya literasi digital di beberapa wilayah, yang dapat menjadi kendala dalam mengadopsi teknologi baru ini. Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022 menunjukkan bahwa sekitar 25% populasi masih belum memiliki akses internet yang memadai, terutama di daerah terpencil.

Selain itu, keberhasilan implementasi CBDC juga memerlukan kolaborasi erat antara berbagai pihak, termasuk regulator, perbankan, dan sektor swasta. Bank Indonesia perlu melakukan kajian komprehensif dan uji coba yang mencakup aspek teknis, legal, dan operasional untuk mitigasi potensi risiko yang ada. Dengan persiapan yang matang, CBDC berpotensi menjadi instrumen pembayaran yang mendukung pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia sekaligus meningkatkan efisiensi sistem keuangan.

Namun demikian, penerapan CBDC juga memunculkan beberapa risiko. Salah satu risiko yang perlu diwaspadai adalah potensi terjadinya disintermediasi perbankan, di mana masyarakat lebih memilih menyimpan CBDC daripada dana di bank komersial. Jika hal ini terjadi dalam skala besar, bank-bank dapat kehilangan likuiditas, yang pada akhirnya mengganggu fungsi intermediasi keuangan, seperti pemberian kredit. Oleh karena itu, Bank Indonesia perlu merancang mekanisme yang tepat agar CBDC tidak merugikan stabilitas perbankan nasional.

Lebih jauh lagi, implementasi CBDC akan memengaruhi perilaku pelaku usaha dan masyarakat dalam bertransaksi. Pelaku usaha, khususnya yang bergerak di sektor kecil dan menengah, harus dipersiapkan untuk beradaptasi dengan sistem pembayaran digital ini. Bank Indonesia perlu memastikan bahwa CBDC mudah digunakan oleh semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan akses teknologi. Dalam hal ini, program literasi digital dan edukasi keuangan perlu digalakkan secara masif untuk mendukung adopsi CBDC di seluruh penjuru Indonesia.

Potensi penerapan CBDC di Indonesia sangat menjanjikan, terutama dalam mempercepat inklusi keuangan dan meningkatkan efisiensi sistem pembayaran. Namun, berbagai tantangan yang ada, mulai dari infrastruktur teknologi, keamanan siber, literasi digital, regulasi, hingga dampak pada sektor perbankan, harus ditangani dengan hati-hati. Kolaborasi yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan CBDC dapat diimplementasikan secara aman dan berkelanjutan. Dengan persiapan yang matang, CBDC tidak hanya akan mendukung transformasi digital di Indonesia, tetapi juga memperkuat daya saing Indonesia di era ekonomi digital global.

Penerapan Central Bank Digital Currency (CBDC) merupakan salah satu inovasi yang semakin menarik perhatian bank sentral di berbagai negara, termasuk Indonesia. CBDC adalah mata uang digital yang dikeluarkan oleh bank sentral dan berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah. CBDC dipandang memiliki potensi besar dalam meningkatkan efisiensi sistem pembayaran, mengurangi biaya transaksi, serta memberikan inklusi finansial yang lebih luas, terutama di negara-negara berkembang dengan tingkat penggunaan tunai yang tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa CBDC dapat mengurangi ketergantungan terhadap uang tunai, meningkatkan transparansi, dan mengurangi risiko pencucian uang atau pendanaan terorisme (Darmawan & Lestari, 2021). (arina)

Independensi bank sentral merujuk pada kemampuan bank sentral untuk menjalankan kebijakan moneter tanpa campur tangan dari pemerintah. Menurut Issing (2018), independensi ini penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mengendalikan inflasi, sebuah konsep yang juga telah dibahas oleh David Ricardo (1824). Inflasi, yang didefinisikan sebagai kenaikan umum harga barang dan jasa dalam suatu ekonomi, memiliki hubungan erat dengan kebijakan moneter. Teori monetaris, seperti yang dijelaskan oleh Friedman (1968), menyatakan bahwa inflasi selalu dan di mana-mana adalah fenomena moneter, sehingga independensi bank sentral dianggap sebagai alat penting untuk mengendalikan inflasi melalui pengaturan jumlah uang yang beredar.

Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan negatif antara independensi bank sentral dan inflasi. Cukierman (1992) menemukan bahwa negara dengan bank sentral yang lebih independen cenderung memiliki tingkat inflasi yang lebih rendah, yang sejalan dengan temuan Kunaedi dan Darwanto (2020) bahwa hubungan ini dipengaruhi oleh kualitas kelembagaan dan pengembangan sektor keuangan. Kualitas kelembagaan, yang mencakup transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap hukum, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan independensi bank sentral dalam mengendalikan inflasi. Hielscher dan Markwardt (2012) menekankan bahwa efektivitas kebijakan moneter sangat bergantung pada seberapa baik institusi tersebut dapat beroperasi tanpa tekanan politik. Selain itu, pengembangan sektor keuangan juga berperan penting dalam hubungan ini. Ilzetzki, Reinhart, dan Rogoff (2017) menunjukkan bahwa negara dengan sektor keuangan yang lebih maju memiliki kapasitas yang lebih baik untuk mengelola inflasi melalui kebijakan moneter yang independen. Dengan demikian, independensi bank sentral, kualitas kelembagaan, dan pengembangan sektor keuangan saling terkait dalam mempengaruhi tingkat inflasi, dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi bagaimana faktor-faktor ini dapat dioptimalkan untuk mencapai stabilitas ekonomi yang lebih baik. (Yana)

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Financial Selengkapnya
    Lihat Financial Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun