Mohon tunggu...
Ada Saya
Ada Saya Mohon Tunggu... -

I'am a student of Law Faculty, like writing, cooking, and everything can make all happy

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

A Cup of Life, Love, on Coffee

23 September 2012   00:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:53 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Yang membuat sulit itu bukan melupakan tapi mengiklaskan. Yang membuat sakit itu, bukan perkenalan tapi perpisahan. Dalam praktik, sudah banyak terjadi yang namanya sahabat sejati itu nggak ada. Adanya cinta sejati. Jika memang setiap keputusan menghasilkan kisah yang baru, tak dapat dielak ketika teori kausalitas sambung menyambung dan hanya memunculkan dua pilihan yang saling berkebalikan. Antara menyenangkan atau menyedihkan. Suatu rasa yang abstrak, ketika keduanya muncul secara bersamaan. Seperti secangkir kopi yang kuseduh ini. Antara air dan butiran kopi memang tak pernah bisa menyatu. Tapi mereka berkecamuk dalam satu ruang yang sama-sama menginginkan munculnya suatu kenikmatan. Dan inilah kopi sulit dimengerti dari segi teksturnya. Mereka ingin membuat kita bahagia ketika menyeruputnya. Tapi ada dua kemungkinan ketika kita memutuskan untuk menyruput kopi itu. Antara pahit dan aroma khas yang tak tertandingi oleh minuman lain. Dan rasa itu pilihan. Jika memang kita benar-benar mencintai kopi, pahit bukanlah penghalang untuk mendapatkan kenimatan dari kopi itu. Aromanya yang wangi, benar-benar terasa hingga ke pangkal hidung. Kebahagiaan pun terkumpul tidak hanya sampai pangkal hidung tapi juga pangkal lidah. Hidup ini memang indah jika kita mempu mendapatkan rasa manis di sela-sela rasa pahit yang tak tertahankan. Namun jika manis itu tak ditemukan, mungkin selamanya yang muncul hanyalah pahit. Hingga tak ada lagi sensasi-sensasi yang membuat hidup ini lebih indah. Hanya suatu esensi kedengkian yang naif dan membuat hidup ini benar-benar terpuruk karena salah menentukan ruang.

Tuhan, siapa yang ingin hidup ini berahir dengan air mata. Tapi iklas itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Tak ada yang tahu, ketika kita berkumpul bersama, ketika kita bercanda bersama pada ahirnya kita akan punya kehidupan sendiri-sendiri. Terkadang hati kecil ini bertanya, apakah kau disana masih menyeduh secangkir kopi sambil menikmati senja di sore hari? Apakah kau benar-benar menikmatinya berdua bersama seseorang yang juga pernah menyeduh kopi di senja hari bersamaku? Terkadang, aku ingin bercerita aku benar-benar bahagia menyeduh kopi bersama kekasihku yang sekarang dari pada yang dulu. Namun, jika itu benar kuceritakan kopi ini tak kan senikmat ketika kita pernah melewati waktu bersama. Kehidupan ini memang benar-benar cepat berubah. Tak ada kopi lagi di antara kita. Lebih dari itu, kita benar-benar jauh dan berbeda.

“Re, kamu bener-bener bahagia kan jalan sama Juna?” Tanya Leora sore itu beberapa tahun silam. Ketika terahir kalinya kita menyeduh kopi bersama.

“Kok kamu tiba-tiba nanya gitu?”

“Ya... pengen tau aja.... memastikan kamu bener-bener move on.” Jawab Leora tegas.

“Le, Le kamu tu lucu ya.... aku ma Juna kan udah jalan hampir 3 tahun. Masih aja tanya kaya gitu.” Jawabku sambil tertawa kecil.

“Ya.... siapa tau... kamu kan orangnya kadang orangnya sulit ditebak.” Ledek Leora.

“Ih.... kamu tu.... cepetan cari pacar dong.... biar kita bisa doble date.... nyeduh kopi berempat pasti seru.”

“Huuufftttt.........” Leora menghembuskan nafas panjang. “ Sebenernya dua bulan ini, aku udah nggak jomblo, Re....”

“Oya.... serius..... jahat banget sih kamu baru cerita sekarang...... sama sapa sama sapa? tanyaku gemas sambil menggoncang-goncangkan tubuh mungil Leora.

“Jangan kaget ya......” Leora menelan ludah seakan butuh kekuatan ekstra untuk menyampaikan ini padaku. Perasaan tegang menyelimuti suasana kamarku sore itu. Dan aku hanya bisa mengangguk dengan penuh harap. “Dua bulan ini aku jadian sama Dewa...”

Aku hanya bisa menelan ludah. Menatap secangkir kopi di hadapanku dengan keadaan tubuh yang kaku. Terlintas wajah Dewa di hadapanku. Dan tak bisa dipercaya Dewa. Dewa. Dewa. Saat itu memoriku langsung terbang teringat masa yang amat lalu. Masa terpuruk yang slalu ingin cepat kuahiri tanpa kesabaran yang panjang. Dewa. Aku mengenalnya baik-baik saja. Tapi semuanya berahir dengan rasa pahit yang membuatku hampir sekarat dalam kerasnya hidup.

“Re.... kenapa harus Dewa re???” aku mulai menitikan air mata.

“Aku juga nggak tau.... dia baik kok.....Re.....” jawab Leora pelan.

Aku terdiam. Tak ada yang bisa kukatakan pada Leora. Dia memang baik Le.... tapi kebaikan itu bukan buat aku. Mungkin buat kamu. Tapi kenapa harus Dewa. Kenapa harus Dewa yang dulu pernah menyeduh kopi bersamaku dan kini kenapa harus kamu yang menyeduh kopi bersamanya.... Dan mana mungkin kita bisa menyeduh kopi berempat di atas balkon rumahku sambil menikmati senja nan jingga di sore hari. Aku tak mungkin kuat menatap wajah Dewa. Dan Juna, mungkin ingin segera menonjokkan tangannya ke muka Dewa jika mereka bertemu. Kisahku bersama Dewa terlalu pahit untuk dikenang, terlalu sulit untuk dilupakan. Bukan karena keindahannya, tapi karena sakitnya yang luar biasa.

“Kamu bener-bener udah move on kan?” tanya Leora berlahan.

“Aku udah move on Le.... tapi aku nggak rela kamu sama dia..... Dia udah bikin hidupku menderita. Bikin karirku hampir saja hancur. Bikin semua yang aku rencanain berantakan.” Emosiku mencuat. Tapi masih bisa kukendalikan. Aku hanya bisa menangis menahan kata yang paling tak bisa aku katakan. Mungkin kita bakal jauhan setelah ini. Hati kecil ini menginginkan Le menganggap Dewa sebagai orang asing yang tak perlu dikenal apa lagi dikenang. Tapi justru Le menginginkan sebaliknya.

“Re, tapi semua itu kisahmu..... aku bahagia dengan Dewa.....” Le sepertinya juga tak bisa membendung air matanya. Sore itu kita larut dalam kesedihan yang abstrak. Di antara secangkir kopi yang mulai dingin ini, aku tak mengerti haruskah bahagia atau bersedih. Bahagia karena sahabatku tak jomblo lagi. Sedih karena nama Dewa hadir kembali dalam balutan hidupku yang ingin slalu melupakan nama itu.

Le memang bahagia dengan Dewa. Beberapa hari setelah itu, aku melihat foto-foto Re dan Dewa di facebook. Mereka terlihat bahagia. Menyeduh kopi bersama dengan balutan kebahagian dan romantisme yang menyala. Mereka terlihat saling mencintai dan tak ada paksaan untuk kata cinta di antara mereka. Berbeda dengan Dewa yang aku kenal dulu. Cintanya dengan ku, benar-benar dipaksakan. Aku yang meminta, aku yang menciptakan, dia yang menghancurkan dan hanya aku yang terpuruk dalam kesia-siaan. Berbulan-belan waktu berlalu. Kemesraan Dewa dan Leora semakin asik untuk kusimak. Ada sedikit rasa iri karena tanpa sakit yang perih Leora menemukan cinta sejatinya. Ada perasaan gundah, kenapa Dewa bersikap sebegitunya padaku dulu. Dan Le, kenapa sekarang Le berubah sikap padaku.....

“Seandainya kamu lebih dahulu menjalin hubungan denganku kita pasti bisa foto berempat dan menyeduh secangkir kopi bersama.” Kata Juna yang ternyata mengamatiku sejak tadi. Aku hanya terdiam. Hingga dia duduk di sebelahku dan mengajakku menatap matanya. Tak ada kata yang muncul. Dia hanya memandangiku dengan tatapan yang berbeda. Aku tak mengerti. Seperti mengintimidasiku untuk bersuara menyampaikan isi hatiku. Tapi aku hanya bisa membisu.

“Le berbeda sejak jalan sama Dewa.” Kataku pelan.

“Dia menjauh?”

Aku hanya bisa mengangguk sambil tetap menatap Juna.

“Terkadang, kita harus merelakan sahabat kita demi kebahagiaannya sendiri. Iklas memang susah. Tapi setiap orang punya kehidupan masing-masing. Kita tak bisa mengusik karena kita juga mandapatkan porsi kebahagiaan sendiri. Kapan lagi kamu bisa melihat Le, bahagia dengan Pria yang benar-benar ia cintai.”

Aku terdiam. Tak bisa berkata. Kehilangan Le, seperti kehilangan separuh jiwaku. Dan kebencian seakan mulai mengalir dalam aliran darahku. Dewa. Kenapa aku merasa dia merampas segalanya dariku? Setelah puas mengorak-ngarik hidupku, dia kembali merebut sahabatku. Tuhan.... aku tak ingin menjadi jahat karena semua ini...... Le bahagia..... tapi kenapa aku sedih?

“Sayang..... coba tataplah aku.” Juna memohon lembut padaku. Dia menatap mataku dalam, dan hatiku larut dalam tatapan matanya. Seakan ada yang lumer dalam diriku dan mengikuti garak hatinya yang tak ku tahu di mana arahnya. “Sayang.....Apa masih kurang kebahagiaan yang aku beri? Seberapa pahit hatimu karena Dewa? Dan seberapa manis lagi yang harus kukeluarkan untuk menghilangkan rasa pahit itu sayang?” tanya Juna lembut.

Aku menunduk limpuh. Seluruh tubuhku kembali kaku. Memang tak seharusnya aku menjadi penghalang kebahagiaan Le dan Dewa. Sakit yang diciptakan Dewa padaku memang tak kan pernah terobati tapi bagaimana pun juga dia kekasih sahabatku. Dan aku punya kebahagiaan tersendiri bersama Juna. Jika aku tak dapat menemukan kebahagiaan yang Juna berikan mungkin sekarang ini aku masih berada dibawah bantal sambil memeluk guling ditemani tisu menangis karena kebahagiaan seseorang yang tak mungkin kuhancurkan. Juna menatapku lekat. Dan aku mendapatkan goresan tanda cinta dalam tatapan matanya. Tak ada yang bisa kukatakan, kecuali bersimpuh di pelukan Juna. Dan berkata, “Sayang, kata terimakasih mungkin tak cukup membalas kebahagiaan yang engkau berikan. Seharusnya aku bersyukur karena cintamu yang jujur.”

*****

Sekarang, tujuh tahun kemudian setelah kejadian itu, secangkir kopi memang terasa nikmat saat kuseduh bersama Juna. Namun tak dapat dipungkiri, kerinduan pada Le... membuat kopi ini terkadang kurang sempurna aromanya.....

“Kamu cantik dengan gaun putih itu sayang....” puji Juna di atas pelamina. Aku hanya tersenyum kecut sambil memandangi seluruh tamu yang hadir. Sedih rasanya yang aku cari tak ada disini.

“Kamu cari Leora?” Juna mencoba menebak isi pikiranku.

“He’eh.... jangan-jangan Leora udah pindah rumah....” aku mulai cemas.

“Emang kamu gimana ngasih undangannya.....?”

“Aku selipin di pintu rumahnya yang dulu kita pernah kesana.... Habisnya pintunya diketuk nggak ada yang jawab.....”

“Ya udah kita tunggu aja sampai nanti.... Pasti dia dateng....” Juna berusaha menghiburku.

Meskipun sudah tujuh tahun kita berpisah, aku tak bisa melupakan Le. Sahabat terbaik yang pernah aku punya. Aku sangat merindukannya. Tak peduli bagaimana kisah itu benar-benar mencuak yang aku tau, aku merindukan Le.

Malam semakin larut. Satu per satu tamu undangan berkurang sedikit demi sedikit. Hatiku masih risau tak melihat Le di acara yang terpenting dalam hidupku ini.

“Kita turun yuk.... Sayang kalo konsep garden partynya nggak kita nikmatin....” ajak Juna sambil mengandeng tanganku.

Juna mengajakku berkekeliling arena pernikahan kami yang sudah sedikit berantakan karena memang acara hampir usai. Juna berusaha menghiburku dengan candaannya yang khas. Kakakku juga ikut bercanda dan mengajak kami foto-foto bersama. Namun tetap aku tak dapat menyembunyikan kekecewaanku pada Le yang tidak hadir dalam acara ini.

Di sudut taman, aku duduk termenung sambil menghirup aroma secangkir kopi yang tak pernah terpisahkan dari hidupku. Di ujung aku melihat sebuah ruangan yang penuh karangan bunga. Sepertinya tempat itu juga diadakan resepsi pernikahan. Berniat mengetahui konsep dekorasinya, aku mengamati dari luar setting pernikahan itu. Sepertinya acara mereka sudah selesai. Terlihat kedua mempelai keluar pintu ruangan itu. Aku berusaha mengatur fokus mataku untuk dapat melihat mempelai itu.

“Sepertinya aku kenal...” gumanku berlahan.

Orang itu sepertinya tau bahwa aku mengamatinya dari kejauhan. Dia membalas pandanganku dengan wajah penuh tanya.

“Re.......” mempelai wanita yang berdiri di depan ruang itu berlari menghampiriku.

“Leora....” aku juga tak sabar menghampirinya. Kami bertemu. Dia memelukku dan aku memeluknya.

“Aku kangen kamu.....” bisikku sambil meneteskan air mata.

“Aku juga......” Balas Le sambil menatapku dan menghapus air mataku.

“Maafin aku ya .... Le.....” kataku melas.

“Nggak ada yang perlu dimaafin...... Ada pahit di antara manis ada manis di antara pahit. Suatu pilihan yang bijak karena kamu memilih manis di antara yang pahit..... Juna memang manismu yang sempurna.... pereda rasa pahit yang tak mungkin terobati.... ini pernikahanmu dengannya kan??” tutur Leora panjang dan aku hanya bisa tersenyum dengan kata-kata itu. Belum sempat aku jawab pertanyaan itu, Juna tiba-tiba muncul di belakangku.

“Kedatanganmu bener-bener berkah buatku Le.... Nggak tau lagi gimana malam pertamaku kalo kamu tadi nggak dateng Le.....” kata Juna setengah bercanda.

“Juna bisa aja..... oya selamat ya... buat kalian.....” kata Leora sambil berjabat tangan dengan Juna.

Dari blakang Leora, tiba-tiba muncul pria yang sudah aku kenal sebelumnya. Hening pun menyelimuti kami ketika pria itu benar-benar berada di sini. Sudah hampir sepuluh tahun aku tak melihatnya. Tak ada kata yang bisa kukeluarkan. Hanya rikuh yang aku punya.

“Oya kenalin suami aku..... Dewa....” Leora berusaha memecah keheningan.

“Dewa.....” Dewa mengulurkan tangannya dengan senyum merkahnya.

“Juna.......” Juna membalas uluran tangan Dewa dengan senyum manis pula. Tanpa basa-basi aku pun mengikuti gerak ulur tangan itu dan kuulurkan tangan itu untuk Dewa, “Namaku Re....” akhirnya aku bisa tersenyum lepas di depannya.

“Oya... kalian berdua ngobrol-ngobrol dulu ya... biar saling kenal.... Aku mau ambil kopi sama Re. Yuk Re.....” belum sempat aku mengiyakan Le, sudah menyeretku kebelakang. Dan aku hanya bisa pasrah.

“Perkenalan yang sempurna....” kata Le semangat.....

“Ya.... sebelumnya anggap saja aku tak pernah mengenalnya.... dan kini aku mengenalnya sebagai suami sahabatku.” Aku tertawa, dan kami pun tertawa sambil membawa kopi untuk pujaan hati kita.

Malam itu begitu indah. Aku, Le, Juna dan Dewa akhirnya bisa berkumpul bersama dengan secangkir kopi yang diseduh masing-masing. Aku memang tak bisa terus hidup dan berkumpul bersama Le. Le punya Dewa. Dan aku punya Juna. Kita sudah punya kehidupan masing-masing. Dan kita sangat bahagia dengan itu. Secangkir kopi ini mungkin tak lengkap tanpa cinta dari Juna dan kasih sayang dari Le yang sangat lama. Sedangkan Dewa, di mataku dia bukan siapa-siapa. Hanya suami sahabatku yang tak mungkin aku benci. Meskipun begitu banyak pahit yang ia suguhkan dalam secangkir kopi ini, namun bersama Juna semua terasa manis. Kuhembuskan nafas panjang. Sungguh betapa banyaknya kenikmatan yang kudapatkan dari aroma kopi ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun