Mohon tunggu...
Eka Putra Nggalu
Eka Putra Nggalu Mohon Tunggu... Seniman - Komunitas KAHE

Penggiat Komunitas KAHE

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pastor dan Kakek Katarak

28 Juni 2014   17:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:25 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah hampir satu jam kami berjalan. Saya dan kakek tua bermata katarak. Dalam udara dingin petang hari, peluh tetap membasahi baju saya, tetapi tak apa-apa. Sudah setengah perjalanan mencapai kampung Rema di ujung Selatan Kecamatan Tana Wawo, tujuan kami. Daerahnya memang cukup terpencil, tepat di atas sebuah bukit tinggi, di perbatasan kabupaten Sikka. Dari puncak, kita bisa melihat keseluruhan wilayah Paga, Maulo’o, Watuneso, hingga Wolowaru di Kabupaten Ende sana. Saya memang memilih jalan kaki ke sana. Pertama, karena jalan menuju kampung belum beraspal, terjal, sempit dan licin saat musim hujan begini. Akses kendaraan yang agak lancar melalui jalan rabat hanya sampai di beberapa kampung sebelumnya, Gaikiu tepatnya. Alasan kedua adalah saat saya turun ojek di Gaikiu, petang datang menjelang. Saya bertemu kakek katarak ini yang saya tahu punya tujuan sama, ke Rema. Karena dia jalan kaki, saya pun turut.

Sepanjang jalan kami berbincang-bincang seru. Saya memperkenalkan diri sebagai pastor yang mendapat tugas asistensi Natal di stasi Gaikiu, dan sekarang mau main-main ke Rema. Ah, mendengar itu dia bersemangat. Sepanjang jalan dia ceritakan cucunya, yang juga pastor misionaris di Amerika Latin.

Babo punya cucu satu juga pastor. Namanya Pater John. Yohanes Raja dia punya nama lengkap. Tinggi besar baru botak dia. Dia tahbis tahun 2000 di bawah, Maulo’o. Kami pesta misa perdana itu di stasi, di Gaikiu. Bapa Uskup juga datang.”

“Oh, iya kah Babo? Dia sekarang dimana?”

“Dia sekarang pater di Peru. Dia sekolah dulu di Italia. Lalu dia punya pimpinan utus dia ke Peru, pergi kerja misi. Habis tahbis dia langsung jalan. Sudah berapa belas tahun ini belum pulang-pulang.” Kakek itu bercerita dengan antusias. Ada nada kebanggaan sekaligus kerinduan dalam dirinya yang teramat berat.

Babo rindu tidak?”, hati-hati saya bertanya.

“Ai… Ema pastor ee. Babo rindu sekali dengan babo punya cucu pater itu. Dia punya mama apalagi.” Sejenak suasana hening, lalu kakek itu melanjutkan. “Kasihan pater itu. Waktu tamat SMP, dia mau masuk di Mataloko itu, babo dengan dia punya mama setengah mati. Babo mau-mau saja, tetapi dia punya mama Emi yang keras tidak mau memang, bilang tidak ada uang. Kasihan. Dia punya bapa pergi merantau pas dia umur empat tahun. Mamanya masih umur tujuhbelas waktu melahirkan dia. Bapanya ambil lagi istri orang Serawak. Tiga bulan lalu dia punya om pulang dari Malaysia bawa datang dengan di punya bapa, sakit-sakit. Sekarang ada di rumah. Dia punya mama karena sayang jadi rawat saja.”

Kami terus berjalan pelan-pelan mendaki bukit yang penuh dengan akar-akar pohon. Di satu-dua tempat kami harus menyeberangi kali yang meluap memenuhi badan jalan akibat hujan lebat hari sebelumnya. Nafas kami saling beradu. Kakek karena sudah tua dan saya karena tidak lagi terbiasa.

Babo punya cucu pater itu dulu rajin sekali sekolah. Pagi-pagi mereka dengan teman-teman sudah lari dari sini. Ema Pastor e bayangkan sudah. Setiap hari pulang pergi dari sini ke Gaikiu hampir mau lapan kilo ini. Tapi itu anak memang hebat betul. Dia sampai bisa masuk Seminari itu karena ada pastor di Maulo’o, dia punya guru SMP yang bantu biaya. Kalau harap babo dengan mamanya saja, talo.”

Setelah mendaki sebuah bukit yang cukup terjal, kami mencapai kaki perkampungan yang berdiri di atas lahan miring menyerupai bukit.

Babo punya rumah pas di pohon cokelat berapa deret itu. Babo punya mata katarak ini sudah setengah mati. Lihat hitam putih saja. Kalo sudah malam begini warna hijau-hijau. Tapi jalan malam begini sudah biasa jadi tidak mungkin tersesat. Kami punya desa ini listrik belum masuk. Kalau yang ada uang, beli bensin baru pakai genset saja.”

Ketika hampir mendekati kampung saya coba bertanya. “Babo sudah tua begini kalau meninggal baru cucu pater tidak datang tidak apa-apa toh?”

Kakek itu diam sejenak. Lalu dengan nada ikhlas dia menjawab. “Ema Pastor e… Babo sudah ikhlas. Itu anak baik sekali. Dia tidak datang juga tidak apa-apa. Babo tahu biar dia tidak datang juga dia doa kasih babo dengan dia punya mama. Itu anak pasti sudah kerja keras di misi sana, bantu orang-orang, jadi pasti dia punya berkat juga babo dengan mama di sini dapat. Tapi kalo dia datang,, aduh… itu pasti babo senang sekali. Ia, babo juga mau dia datang liat dia punya bapa sakit-sakit ini. Sudah puluhan tahun mereka tidak ketemu. Dia punya bapa sudah salah banyak, tapi biar bagaimana juga itu dia punya bapa”.

Saya agak terharu mendengar kisah kakek. Ah…. Betapa liburan Natal ini sangat berahmat bagi saya.

Ema Pastor e, kami di sini satu KUB. Bapa Mundus ketuanya. Bagaimana Ema? Babo antar ke rumah ketua KUB?”, tanya kakek saat kami memasuki kampung.

“Biar saja babo. Saya ini malam tidur di babo punya rumah saja.”

Kami berjalan menuju rumah kakek itu. Dari jauh saya melihat gubuk kecil sederhana yang diterangi pelita. Walau dimakan usia, ia tetap berdiri tegak.

“Emi…. Emi… Kau buka dulu pintu ini. Ada tamu pastor datang kunjung kita punya KUB”, teriak kakek di depan pintu rumah.

Seketika itu juga pintu dibuka. Dari dalam rumah itu keluar seorang wanita pertegahan lima puluhan bertubuh ramping, dengan wajah bundar yang semakin jelas terlihat karena rambut panjang hitamnya terkonde rapi. Cahaya lampu pelita membiaskan kecantikan alamiah kas wanita Lio. Ada goresan keteguhan hati dan kesetiaan pada wajah itu. Wajahyang tidak pernah letih menanti dalam harap, iman, dan cinta. Saya tahu betul, saya harus memanggilnya ine, dan dia tahu saya putra kesayangannya. Tidak ada teriakan histeris, tak ada air mata, hanya ada senyum kebahagiaan, bahkan sebuah kata ‘lase’ terujar seperti setiap kali saya pulang liburan Seminari. Pada kakek katarak itu ia berujar, “babo ini ana kau John.”

Wairklau, entah kapan...

Catatan:

1. Babo :bahasa Lio yang berarti Kakek

2. Ema : (bahasa Lio); sapaan sayang untuk anak lelaki

3. lapan : delapan

4. Talo : tidak mampu, tidak sanggup

5. Genset : generator listrik

6. Ine : (bahasa Lio) mama, ibu

7. Lase : Kata makian dalam bahasa Lio, tetapi dalam konteks ini dimengerti sebagai sapaan sayang.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun