Mohon tunggu...
Eka Putra Nggalu
Eka Putra Nggalu Mohon Tunggu... Seniman - Komunitas KAHE

Penggiat Komunitas KAHE

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

“Rupa-Ku, Rupa-Mu Tuhan”

11 Juni 2014   16:18 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:14 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Pada satu kesempatan dalam jalan salib Tuhan, tergerak oleh rasa belas kasihan, Veronika menerobos kerumunan para serdadu danmengusapi wajah Yesus. Sebagai ganti ucapan terima kasih yang tak keluar dari bibir-Nya, Yesus menghadiahkan Veronika sebuah gambar bertintakan peluh dan darah pada kain bekas usapan wajah-Nya. Gambar itu adalah gambar wajah-Nya. Gambar wajah Tuhan. Wajah Tuhan yang kehilangan rupa dan bentuk.Wajah yang menderita”.

Saya ingin mengajak anda sekalian untuk merenungkan simbol ini; “gambar”. Untuk memulai permenungan kita, mari kita simak sejenaksebuahsilogisme sederhana berikut. “Semua manusia berdosa. Yesus lahir ke dunia mengambil rupa manusia. Apakah Yesus juga berdosa?”

Jawaban dari pertanyaan di atas seringkali bertolak dari sisi ke-Aallah-an Yesus. Yesus tidak berdosa, sebab walaupun Ia mengambil rupa manusia, Ia tetaplah Allah. Jawaban lain mungkin berbunyi, Yesus adalah anak Allah yang dikandung dari Roh Kudus. Jadi Ia tidak berdosa. Jawaban-jawaban seperti ini tidak jarang menyudahi refleksi kita terhadap pertanyaan di atas. Namun, kali ini, mari kita coba merenungkan pertanyaan di atas dari sudut pandang hakikat manusia. Rupa yang katanya berdosa tetapi dipakai oleh Tuhan untuk membebaskan kita dari dosa.

Dalam Mazmur 8, Daud berkidung;

“Tuhan siapakah manusia sehingga Kau perhatikan?

Siapakah dia sehingga Kau pelihara?”

Daud sesungguh menyadari kasih Allah kepada manusia. Daud sadar bahwa seluruh ciptaan berpusat dan berpuncak dalam diri manusia. Meski berada dalam kebingungan, Daud yakin bahwa Allah menghendaki segalanya terjadi demikian. Hal ini mengingatkan kita akan kisah penciptaan di taman Eden. Di sana, Tuhan memanggil seluruh ciptaan-Nya dari ketiadaan, dan mereka menjawab panggilan-Nya dengan berada. Firman Tuhan begitu dahsyat sehingga dengan mudah dunia ini diciptakan. Namun, ada yang berbeda dengan manusia. Dalam kitab suci Allah berfirman; “Baiklah kita menjadikan manusia seturut gambar dan rupa Kita.” (Bdk. Kej 1:26). Kelak pemazmur kembali berkidung; “Kau ciptakan dia hampir setara dengan Allah, Kau memahkotai dia dengan kemuliaan dan hormat.” (Bdk. Mzm. 8:6).

Manusia adalah mahkota ciptaan. Ia dijadikan Allah menurut rupa-Nya sendiri. Ia dijadikan Allah sebagai pribadi yang memiliki akal dan kehendak bebas untuk menjawab panggilan Allah. Diceritakan bahwa Allah menghembuskan nafas hidup-Nya sehingga manusia hidup. Itu berarti sudah sejak awal mula dan secara eksistensial, Allah bersemayam dalam diri manusia sebagai roh yang menghidupkan;dasar eksistensi manusia. Hal ini tidak berarti seluruh hidup manusia digerakkan oleh Allah, tetapi Allah memberi daya ini agar manusia mampu mengembangkan segala kualitas hidupnya dengan daya itu, dan dengan daya itu pula ia mengembangkan dunia serta seluruh ciptaan yang dipercayakan Allah kepadanya. Karena pada hakikatnya Allah adalah cinta, maka manusia pun dituntut untuk selalu hidup berdasarkan gerakan roh cinta Allah sendiri. Allah menjalin dialog dengan manusia dan manusia menyuarakan puji sembah seluruh ciptaan. Dialog cinta antara Allah dan ciptaan mencapai puncaknya dalam diri manusia yang bisa secara bebas menjawab panggilan Allah. Seluruh ciptaan menggambarkan pujian Allah, tetapi Allah tidak egois, sebab seluruh ciptaan sekaligus dimaksudkan untuk berbahagia bersama-Nya. Inilah hakikat manusia dan seluruh ciptaan: dipanggil untuk bersatu dan berbahagia dengan Allah di surga.

Di sini jelas terlihat bahwa manusia tidak diciptakan dengan kodrat dosa. Dosa baru muncul ketika manusia mencurigai dan kemudian tidak percaya kepada Allah sebagai dasar dan penjamin eksistensi hidupnya. Dosa tidak mengubah sikap Allah tetapi sikap dan kondisi manusia. Hukuman atas dosa bukanlah hukuman yang ditetapkan oleh Allah dari luar diri manusia, melainkan suatu konsekuensi langsung dari dalam diri manusia karena mereka menyangkal hakikat diri mereka. Setiap perbuatan dosa merusakkan diri manusia dan membawa akibat negatif bagi dirinya, yaitu maut serta kebinasaan.

Pernyataan bahwa dosa tidak mengubah sikap Allah nyata dalam karya penyelamatan-Nya bagi manusia. Belenggu dosa yang diciptakan manusia sebenarnya merupakan tanggungjawab manusia sendiri. Namun karena manusia tidak berdaya terhadap kuasa maut, Allah berkenan mengutus Yesus Kristus untuk membebaskan manusia dari belenggu dosa itu. Yesus berkenan menjelma menjadi manusia untuk mempertanggungjawabkan perbuatan manusia. Kesalahan manusia ditanggung oleh Anak Manusia.

Yesusbenar-benar lahir ke dunia dalam rupa manusia. Dalam inkarnasi, Firman Allah yang asli dan ilahi sendiri menjadi manusia. Firman atau Gambaran Allah tercipta, sehingga dalam penjelmaan itu terjadi manusia yang paling sempurna, yang memberikan jawaban sempurna dari pihak ciptaan dalam dialog cinta dengan Allah. Karena itu, inkarnasi menjadi puncak absolut dari seluruh ciptaan. Lewat inkarnasi pula Allah sebagai manusia hendak mengambil bagian dalam kedosaan manusia. Tidak dengan berdosa, tetapi bertanggungjawab atas seluruh dosa manusia. Allah menebus dosa manusia.

Gambaran rupa Yesus pada kain bekas usapan darah dan peluh mungkin menyerukan hal ini bagi kita: “Hai manusia, lihatlah rupamu! Inilah rupa dari upah dosa! Rupa yang kehilangan keindahan dan kemuliaan! Rupa penuh darah, air mata, dan penderitaan!” Rupa Yesus yang menderita adalah rupa yang menggugat anda dan saya. Rupa yang mengajak kita untuk melihat seberapa jauh diri kita kehilangan bentuk, arah, dan tujuan. Rupa yang menyodorkan kepada kita ajakan untuk segera berbenah diri. Pada akhirnya, rupa Tuhan yang menderita harus dimaknai sebagai sebuah cermin kedosaan sekaligus kemuliaan. Cermin yang selalu membuat kita sadar akan hakikat diri kita sebagai makhluk yang lemah sekaligis berharga. Cermin yang meyakinkan kita bahwa kita harus selalu mampu menampakan rupa yang menjadi hakikat diri kita; rupa Allah, rupa Cinta. Harapan untuk berbenah selalu ada. Pulanglah dan jangan berbuat dosa lagi!! (GM).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun