Mohon tunggu...
Ecik Wijaya
Ecik Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Seperti sehelai daun yang memilih rebah dengan rela

Pecinta puisi, penggiat hidup

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kelanaku Dalam Empat Musim: Semua Berlalu!

30 September 2023   23:31 Diperbarui: 30 September 2023   23:40 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

# Musim pertama; musim semi
Pertamakali membuka mata dengan tangisku
Mencari kehangatan pelukan rahim
Tempat tinggal dalam Ibu
Kini bertatapan  mata seperti fajar merekah
Bunga-bunga setaman bermekaran
Memberi degup sukacita yang kencang
Penuh doa ucap selamat datang
Selamat hari lahir!
Aku menjadi matahari bagi Ibu
Aku menjadi udara bagi Bapak
Aku menjadi mula dari segala; dariku
Aku menjadi pusat keindahan yang bersemi
Pada tiap bilik jiwa yang menatapku: aku tampak seperti binar!

# Musim kedua; musim panas
Beranjak  tumbuh dalam pencarian
Hasratku mengetahui dunia membuncah
Laksana panas matahari  di dada
Aku berkelana diantara gunung dan lautan
Kadangkala bernaung dibawah lembah hijau
Pun sering kali terperosok dalam jurang
Aku ditempa pelbagai hal
Membawa buku dan pena yang tergantung di dada
Menuliskan setiap cerita dan warnanya
Kadang tak menyangka bakal menjadi seorang penunggang
Kadang pula aku semacam budak belian semata
Aku belajar kenal!

# Musim ketiga; musim gugur
Semacam bawaan sudah penuh saja
Buku-buku sudah usang
Pena kehabisan tinta
Pensil kehilangan warna
Aku memilih mendiami suatu tempat terakhir
Berhenti mencari; mungkin saja sudah menemu
Jiwaku dalam keadaan matang, tinggal ranting tanpa daun
Seakan memilih tak lagi berpacu dengan apapun
Memilih tak bersitegang tentang pencapaian
Menghidupi kebijaksanaan yang ku peroleh dari perjalanan lampau
Menikmati sentausa jiwa tanpa perlu drama!

# Musim keempat; musim dingin
Inilah musim untuk bersiap; berselimut
Menyimpan hangat dibawahnya bulu-bulu halusnya
Dalam dekapan pembaringan yang dingin
Hasratku hilang, jiwa ragaku kehilangan daya
Musim penantian, sendiri sunyi
Antara kekuatiran, ketakutan dan harapan
Mati segala rasa terhadap gerak dunia
Dunia yang mulai menjaga jaraknya
Aku mulai tersekat darinya, aku cuma mengenang diri seorang dalam kelupaan
Dalam diam, dalam bisik doa-doa
Hari yang ditakuti akan segera tiba; aku harus segera bersiap!
Kata terakhirku; selamat tinggal!
Kata dunia; selamat pulang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun