lagi, hari ini pagi saja sudah terik
angin keras membentur jendela-jendela hati
bergemuruh dada saling silang
hujan tumbuh dihati  jatuh di mata
sejenak reda, bumi berguncang
tapi kabar lebih guncangkan jiwa
tangan yang baru tumbuh kekar
belum memberi apa tapi berani mencerabut nafas yang lain
aduhai anakku,
ia mungkin seorang ayah, suami bahkan anak-anak dari orangtuanya
ia sedang bekerja menafkahi keluarga
 ia sedang mendirikan kehormatan dan kemuliaannya
tapi tanganmu nak,
luarbiasa beringas mengikuti cuaca yang sedang kacau
sampai turut  memicu terbakarnya diri itu
lalu ketika ia terkapar hangus, sesal sudah terlambat
tangan dan maumu yang bertahun diajarkan untuk ditahan atas nama empati
luruh seketika hanyut dalam gelora api sesaat yang membuat sesat
buta mata buta logika buta hati
yang ada kobaran api membakar seluruh sisi kemanusiaanmu
aduhai nak, negeri ini menangis
seperti bapak ibumu, saudara-saudaramu, guru-gurumu, lingkunganmu
merasa gagal mengasuh, membimbing dan mendidikmu
menjadi manusia yang utuh
manusia yang penuh rasa tepo seliro dan beradab
dibalik jeruji, mungkin kau dengar kabar
yang dibawa mulut-mulut yang lalu lalang
ia mati terbakar, setelah berusaha bertahan
tapi kau sudah membakar habis kemanusiaanmu dalam sekejap
maka, belajarlah untuk mati
sebelum mati sungguh menjinakkanmu dengan kasar pula
karena pengampunan itu sungguh sulit didapatkan
tapi cap didahimu pasti penuh doa buruk dan sumpah serapah
mengunyah luka tak habis-habis!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI