Aku masih saja menyicip aroma asin keringat ibuku
Saat mendulangku makan dari tangan kasarnya
Meski sudah beribu-ribu hari ia tak lagi terpeluk
Asinnya bercampur sungai airmata
Menyeduh luka dari jemari yang terus bekerja
Dalam kubangan siksa kenang
Aku membangun hari lebih keras selepasnya
Menunggu ditiap tepi fajar dan petang
Memeluknya lebih erat dalam doa didada
Menyusu pada airmatanya dulu agar lepas laparku atas rindu
Hingga keriput melukis wajah dengan lekas
Betapa kecantikan jiwanya masih terpatri
Bahkan dalam keburaman menapaki waktu
Aromanya menyelimuti tiap langkah yang seringkali tersandung
Menjadi penuntun saat tergelincir di tiap persimpangan
Tak pernah cukup sempurna untuk menggambarkan
Bahwa keringat yang jatuh, airmata yang buncah
Hanya untukku yang juga tak pernah memahami sebelumnya
Penyerahan atas jiwa raganya; untukku tumbuh besar di kehidupan
Adalah warisnya yang paling abadi
Aku rindu, Bu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H