Mohon tunggu...
Echa Nurfadilah
Echa Nurfadilah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

A mom of four lovely daughters and a baby boy | Government Employee aka PNS | a Khadija, SuperMom and writer wannabe | Life is a bless from God and an ‘adventurous’ journey with my beloved family | Graduate School in Management Studies (Majoring in Finance Management) and Bachelor of Commerce (Majoring in Accounting) both from Faculty of Economics University of Indonesia | http://echanurfadilah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Please Deh, Jangan Ada Dusta Diantara Kita

21 Januari 2011   14:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:19 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menyimak isi media di negeri kita beberapa pekan belakangan ini yang melulu soal pembohongan publik oleh pemerintah, saya jadi gatal ingin ikutan berpendapat (curhat, tepatnya). Pernyataan tentang kebohongan pemerintah tersebut dikeluarkan oleh para pemuka agama yang merasa gerah oleh pemberitaan selama ini tentang dinamika ekonomi, politik, hukum dan sosial di negeri ini. Tentang pencapaian target ekonomi yang digembar-gemborkan pemerintah meski kenyataannya bagi orang yang melek ekonomi pencapaian tersebut tidak dapat dijadikan simpulan. Salah satu contohnya, menggunakan angka pendapatan per kapita yang tidak menggambarkan kesejahteraan negara yang sesungguhnya. Mungkin teman-teman yang kuliah ekonomi masih ingat mata kuliah statistik, atau tentang prinsip Pareto, kemudian coba deh dipakai untuk mendeskripsikan distribusi pendapatan (khususnya di negara kita ini aja). Lalu coba jelaskan alasan mengapa angka pendapatan per kapita yang dinyatakan sebesar 2,700 dollar tahun ini jadi semacam data statistik yang mengelabui.

Tapi tunggu dulu (jangan asal nuduh pemerintah berdusta lah), ada indikator ekonomi lain yang disuguhkan yaitu tingkat kemiskinan menurun menjadi 13.5% dari 16,6% (menurut data BPS). Masih menurut data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga Triwulan III 2010 telah mencapai 5,8% dari prediksi pertumbuhan tahun 2010 yang mencapai 6%. Meskipun demikian, hal ini tidak lantas berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat karena kenyataannya rakyat merasa saat ini pekerjaan justru semakin sulit didapat, sehingga angka pengangguran makin tinggi dan orang miskin makin banyak. Artinya, jika pertumbuhan ekonomi tidak menyerap angkatan kerja atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan ekonomi maka yang muncul kemudian adalah semakin dalamnya jurang perbedaan pendapatan (kesenjangan sosial). Apakah pemerintah sekedar ingin menghibur rakyat dengan 'rapor' indikator ekonomi yang bagus meski kenyataan berkata sebaliknya? Rakyat tidak butuh 'nyanyian', rakyat butuh perhatian. Ditambah lagi kasus Gayus yang 'jayus' banged dan menghebohkan dengan sepak terjangnya yang mencoreng wajah hukum dan perpajakan kita yang asalnya sudah cukup 'butek'. Kasus yang kental aroma politik (politisasi) ini sedikit demi sedikit menguak ketidakjujuran pemerintah dan (oknum) aparatur pemerintahan. Apalagi sebelumnya ada kasus century, Antasari, dan sederet kasus lain yang penyelesaiannya (sudah selesai belum sih, atau 'diselesaikan'?) belum jelas.

Entah siapa yang suka berdusta dan mengorbankan kebenaran demi kepentingannya sendiri. Hal-hal diatas bisa jadi hanyalah puncak yang terlihat, dari gunung es masalah-masalah yang sebenarnya ada. Dan pemerintah yang dinilai tahu atau seharusnya tahu mengenai permasalahan yang ada malah bermain drama dengan kebohongan demi pencitraan. Padahal perilaku bohong adalah fenomena terburuk menurut pandangan agama mana pun. Oleh karena itu, para pemuka agama memandang perlu turun gunung dan menegur pemerintah agar jujur dan terus terang terhadap rakyat dan memperhatikan permasalahan yang ada. Jangan sampai rakyat yang terbohongi marah atau yang justru paling membahayakan adalah rakyat menjadi apatis, tidak percaya pada pemerintah (pemimpin) apalagi jika pembohongan itu sudah sistemik maka bukan tidak mungkin rakyat menganggap perilaku bohong merupakan hal biasa. Bukhari Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Amr Al-Ash r.a. bahwa Nabi Saw. bersabda: "Ada empat sifat yang bila dimiliki maka pemiliknya adalah munafik. Dan barang siapa yang memiliki salah satu di antara empat sifat tersebut, itu berarti ia telah menyimpan satu tabiat munafik sampai ia tinggalkan. Yaitu apabila berbicara ia berbohong, apabila bersepakat ia berkhianat, apabila berjanji ia mengingkari dan apabila bertikai ia berbuat curang." (HR. Muslim).

Jika pemerintah sudah dianggap kerap berdusta, maka kepada siapa rakyat bisa menaruh kepercayaan? Kebohongan itu ibarat jamur di musim hujan. Cepat bertumbuh, karena satu kebohongan terpaksa harus ditutupi dengan bohong yang lain, terus begitu tak berkesudahan hingga kebenaran muncul. Tentu rakyat tidak ingin dipimpin oleh pemerintahan yang munafik. Untuk itu, maka sudahilah kebohongan yang ada. Evaluasi diri dan fokus saja mengurus rakyat dengan baik, memimpin rakyat dengan teladan yang baik, edukasi rakyat dengan jujur, jangan rakyat yang hidupnya sudah susah masih dibohongi juga. Setelah itu, boleh juga lah sekali-kali bernyanyi lagunya om Broeri-tante Dewi Yull.....jangan ada dusta diantara kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun