Ketika itu aku sedang beradaptasi ke sebuah perubahan, perubahan dimana ketika aku merasa terpukul atas musibah itu…. Ketika aku mendapatkan duniaku yang sebenarnya bukan duniaku.
Dunia yang kuterima adalah sebuah hidup tentang kebohongan, dan berisikan tentang mereka yang terluka hatinya, mereka yang tak memiliki masa depan, mereka yang hanya mengukir angan angan. Hadirku di mereka seperti sebuah harapan, namun kau harus tahu aku justru semakin tak berdaya disana. Kesalahan terbesarku adalah mengenal mereka yang hingga kini pun aku semakin tak mengerti apa sesungguhnya yang mereka cari.
Malamku kala itu selalu dihasi oleh canda kamu, oleh sebuah angan kamu.. oleh sebuah cita cita besar, yang tak berwujud, aku tahu kamu sebetulnya sangat sakit, dengan batin dan perasaan bahkan jiwa kamu, jiwa jiwa yang hilang, jiwa jiwa yang tak berpengharapan.
Aku lihat tangismu. sebuah tangis yang di balut senyum katika aku di samping mu, Malam ku begitu menakutkan katika aku bersama dunia baru itu, aku seperti merasa di dalam hidup dan hanya menunggu kematian… menunggu sebuah kepastian, disana tak ada hidup, yang ada hanya berangan angan bahwa kelak keajaiban akan datang, bahwa kelak sesuatu akan turun begitu saja dari langit, aku tau jul.. tak ada yang gratis di dunia ini, atau cuma cuma, tanpa sebah usaha dan doa, tapi kehidupan mereka gelap sekali aku sangat takut menjalaninya, dan hanya kamu yang mau mendengar aku.
Semua munafik , mereka hanya menginginkan aku menjadi bagian yang menguntungan mereka, mereka mengira aku adalah sang penyelamat demi menutupi kebohongan mereka, dan aku semakin bisa memahami semua yang mereka inginkan.
Hanya satu kebahagiaan aku ketika kamu menemani aku di hari gelapku…. aku tahu sekarang makna itu, dan saya yakin nun jauh disana masih ada nama saya.
Jogjakarta.
Pernah saya posting di Blog Detik Saya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H