Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, yang tersusun karena perbedaan suku pun agama. Tercatat sebagai negara dengan mayoritas Muslim, tidak serta merta membuat Indonesia menjadi negara yang paling aman, konflik beragama tetap menjadi salag satu masalah yang tak terlelakkan.
Sedangkan santri sendiri, bukannya merupakan satu hal baru. Mereka telah ada bahkan sebelum murid-murid dari sekolah model belanda lahir, membantu mendoakan negeri ini, berjuang bersama para Kiyai untuk memerdekakan Indonesia dari belenggu penjajah.
Kemajuan Indonesai tidak bisa dilepaskan dari mereka para alumni pesantren, dari aksi nyata hingga doa bersama setiap selesai sholat. Ajaran yang ditanamkan kepada para santri dari pesantren-pesantren tempat mereka menuntut ilmu tak dapat dipisahkan. Setidaknya ada satu pelajaran dalam pengabdian kepada masyarakat.
Namun, beberapa waktu lalu, dalam satu konflik besar ketika isu radikalsime benar-benar berhembus sangat kencang. Ada, kala itu ketika berita yang bertebaran begitu memilukan hati. Apalagi ketika headline memajang judul pilu. Para santri yang baru pulang, khas dengan gaya pondokannya; sarung, kopiah, digeledah tasnya, diperiksa barang-barangnya disangka dia membawa satu bom yang siap meledak serta merta dengan paham yang dia pelajari; radikalisme --kata mereka.Â
Ada juga satu bis yang diberhentikan ditengah jalan, saya ingat itu bis Pondok Moderen Gontor Putri Kampus 5 yang membawa para santriwatinya untuk menunggu yudisium di PM Gontor Putri Kampus 1. Kala itu, santri seakan agen pembawa paham radikalisme. Pernah, buku 'tamrin lughoh' yang ikut disita, atau bahkan buku berbau pelajaran bahasa arab dicurigai sebagai buku pedoman dan tuntunan bagi mereka para penganut paham radikal --agen teror. Alangkah baiknya dicari kebenarannya terlebih dahulu.
Mari kita kembali kepada kata radikal sendiri yang menurut KBBI sendiri adalah secara mendasar, hal yang sudah mengakar sampai kepada prinsip. Di Indonesia, radikalisme sering dikaitkan dengan agama. Khusunya agama mayoritasnya. Lahir akibat teror dimana-mana. Yang jika dilihat dari penampilan, pantas saja alamat pelaku paham radikal dicap lahir dari para santri salafi pun modern.
Sekarang, radikal sendiri ingin diubah menjadi manipulator agama, siapa yang setuju, bahkan ketika maknanya jelas jauh berbeda. Ketika arti kata manipulator agama adalah mereka yang tentu paham agama, mereka yang menganut paham radikal ketika menjadi agen terorisme jelas belum tentu paham agama. Mereka tertipu karena satu tuntutan untuk mendapat perhatian pemerintah dalam upaya mendesak perubahan kebijakan.
Yang paling penting saat ini adalah, mengembalikan ajaran agama kepada dasarnya, bahwa ia mengandung kebaikan dan tentunya memiliki 'dasarnya yang telah mengakar' --sendiri. Radikalisme merupakan satu konteks berbeda dengan paham apapun. Berbeda dengan ajaran agama apapun, yang jauh dari kepentingan politik dan kepentingan apapun. Radikalisme tentu tidak dapat disangkut pautkan dengan apapun secara subjektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H