Mohon tunggu...
Hardian Putra
Hardian Putra Mohon Tunggu... lainnya -

Bencana candala

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kenapa Aku Harus Menggunakan Hak Pilih pada Pemilu 2014?

9 Februari 2014   10:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:01 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_321524" align="aligncenter" width="702" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption] RENTETAN titik air hujan yang menghunjam tanpa belas kasihan kemarin pagi tak menghalangi pandangan mataku pada bentangan baliho berukuran sekitar 7 x 10 meter di pinggir jalan. Di pojok kiri atas baliho itu ada tulisan: ayo memilih untuk Indonesia. Di bawahnya: 9 April 2014. Ya, tak terasa, sudah hampir lima tahun sejak pemilihan umum terakhir digelar. Tahun ini partai-partai politik dan orang-orangnya kembali bersaing dalam ajang penentuan posisi dan karier mereka di Republik untuk lima tahun mendatang. Tahun politik, mereka bilang. Tapi buatku, ini tahun penuh perkomplotan. Tahun intrik. Dua belas partai politik tercatat ambil bagian dalam perhelatan yang kerap diagulkan sebagai pesta demokrasi ini—lima belas di Aceh. Mau tak mau, suka tak suka, warga Indonesia yang sudah memenuhi syarat mengikuti pemilu—sekalipun hidup di tanah asing—mesti menyambut ajakan KPU untuk menggunakan hak pilihnya.  “Ayo, memilih untuk Indonesia. Wujudkan pemilih cerdas untuk pemilu berkualitas,” begitu ajakan KPU yang aku jumpai pada suatu kesempatan. Dalam upayaku menaklik frase “memilih untuk Indonesia”, “pemilih cerdas”, dan “pemilu berkualitas” dalam dua kalimat ajakan itu, aku tiba-tiba teringat kata favorit Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seperti yang kerap diberitakan media: prihatin. Ketika polisi syariah di Aceh marak merazia warga nonmuslim yang mengenakan celana pendek, Jakarta digrataki oleh berlembar-lembar spanduk milik calon legislator yang menyerondong papan beleid Komisi Pemilihan Umum—kemudian menginjak-injaknya—demi memuluskan jalan menuju gedung megah yang sejatinya milik rakyat. Konon, pelanggaran besar-besaran terhadap aturan yang telah ditetapkan KPU ini terjadi hampir di setiap jengkal tanah Indonesia. Aku tak tahu. Calon legislator—bukan calon legislatif—merupakan calon penyambung lidah rakyat. Tapi aku yakin sebagian besar di antara mereka tak pernah bercita-cita menjadi Sukarno. Sang Proklamator pernah mengguncangkan dunia dengan kalimat “go to hell with your aid” yang ditujukan kepada Amerika ketika Negeri Abang Sam memutuskan tidak lagi menggelontorkan bantuan kepada Republik. Kalau calon legislator itu, aku menduga, lebih suka bilang, “You may go to hell, but please, please, please, help me with your aid.” Pemilu legislatif masih berbilang bulan, tapi calon-calon wakil rakyat ini tak menampilkan diri layaknya manusia yang punya rasa malu terhadap diri sendiri, keluarga, dan—yang paling penting—rakyat yang akan mereka wakili. Entah pandir atau malah kelewat cerdas, mereka bersaing dengan iklan produk pemutih wajah lewat baliho-baliho besar yang memajang wajah mereka, lengkap dengan logo partai politik bekingan dan kata-kata mutiara. Tak ketinggalan, terpampang pula nomor urut mereka dalam pemilu yang tampak dicoblos menggunakan paku atau dicontreng, meski Pemilu 2014 tidak menggunakan sistem contreng. Memang banyak orang di Indonesia yang lantas membeli produk pemutih wajah setelah melihat iklan-iklannya yang dipenuhi janji. Namun tak sedikit pula yang tak mau membelinya karena sadar bahwa iklan-iklan itu menampilkan bintang yang memang memiliki warna kulit cerah, seperti orang Korea, Jepang, Cungkuo, atau Indo. Tak perlulah pemutih, wajah mereka sudah “putih” sedari lahir. Dan lagi, biasanya ada kalimat-kalimat kecil pada iklan yang menampilkan terms and condition, atau syarat dan ketentuan: wajah bisa putih kalau Anda bla-bla-bla dan harus bla-bla-bla serta bla-bla-bla. Rumit, melelahkan, dan terkesan menipu. Tak hanya itu. Pohon-pohon yang pendiam, rindang, dan menyejukkan mereka racuh dengan spanduk dan pamflet yang sekali lagi berisi umbaran janji bahwa mereka akan bersatu dan berjuang demi suara wong cilik yang mereka anggap suara Tuhan karena mereka bersih, jujur, dan tegas. Mereka juga berjanji akan setia sampai akhir dunia dan akhirat, merakyat, serta mengkombinasikan cinta, kerja, dan harmoni guna merestorasi Indonesia. Belum lagi umbul-umbul partai yang berderet-deret berdiri di sepanjang sisi jalan yang menurutku bisa merusak kornea. Ragam simbol kebanggaan partai itu dipasang tanpa aturan. Di Jakarta, ketika berdiri, umbul-umbul itu menambah kesemrawutan kota yang sudah disesaki baliho-baliho iklan komersial  dan bendera organisasi massa—yang katanya menjadi lumbung suara partai tertentu dan mitra kepolisian. Parahnya, terkadang umbul-umbul itu mencong setelah dipasang, posisinya melintang di tengah jalan karena pemasangnya tidak mengikat tiang dengan erat. Walhasil, perjalanan para pengguna jalan terganggu. Mereka kemudian memperlambat laju sehingga menimbulkan kemacetan. Di Twitter, pasti ada yang mengeluh macet—lalu disambar pengamat tata kota yang melepaskan tembakan kata-kata: siapa suruh pada naik kendaraan pribadi? #MobilkuDuaDiGarasiSemua. Pada 2012, seorang seniman jalanan perempuan asal Singapura pernah ditahan polisi setempat gara-gara menulis dan menempelkan stiker pada tembok, jalan, serta sejumlah fasilitas umum di Negeri Singa. Salah satu karyanya adalah mal-malan berbunyi: MY GRANDFATHER ROAD. Tulisan itu terinspirasi oleh umpatan kebanyakan orang Singapura ketika merasa terganggu oleh kegiatan orang lain di jalan. “Hey, your grandfather road, eh?” begitu mereka mengumpat. Sebenarnya kata-kata itu juga menginspirasiku. Ingin rasanya aku menghardik pemilik umbul-umbul calon legislator dan partai di jalanan, “Jalan ini punya mbahmu apa???” Seniman itu dicokok pihak berwenang karena dianggap melakukan vandalisme, merusak kota. Aku sempat bertanya dalam hati, meskipun tidak hidup di Singapura, apakah orang yang bertanggung jawab atas pemasangan bendera, rontek, poster, spanduk, dan baliho yang berkaitan dengan pemilu secara semrawut, seenak udel, dan mengutuki estetika kota/desa di Indonesia bisa juga diseret ke instansi pengayom masyarakat? Mereka tak hanya mengacak-acak kota. Menurut sejumlah pemberitaan di media massa, baik cetak maupun daring, para calon legislator ini juga melanggar aturan KPU. Mereka sebenarnya belum boleh berkampanye dan memasang alat peraga kampanye. Namun apa mau dikata. Duit buat investasi ada. Kalau tidak dimanfaatkan, bisa rugi bandar. Toh, yang lain mencuri start juga. Begitu mungkin yang mereka pikirkan. Aku jadi penasaran. Di antara para calon legislator yang mencuri start kampanye ini, siapakah yang bergerak paling awal? Dalam pikiranku: belum jadi anggota Dewan saja sudah mencuri, apalagi nanti kalau sudah menjabat? Ada yang memanfaatkan bejibunnya angkutan kota. Mereka pasang tampang nan terlihat manis dan alim pada kaca belakang mikrolet, Metro Mini, dan lain-lain. Yang dananya cekak—ya, iklan gratis itu mitos—berbagi ruang dengan calon legislator lain: satu kaca buat kampanye dua-tiga orang. Tak sedikit pula yang menempelkan stiker mahabesar pada mobil pribadi mereka. Semuanya demi satu tujuan mulia: menjadi penyalur aspirasi masyarakat. Tapi jangan salah. Badan Pengawas Pemilu sebagai lembaga yang berwenang menindak pelanggar aturan kampanye tidak tinggal diam melihat kenyataan ini. Baliho-baliho yang melanggar aturan mereka copoti. Pamflet mereka sobek-sobek. Pemasangnya mereka peringatkan. Dengan bantuan Satuan Polisi Pamong Praja, mereka berupaya “meningkatkan kualitas” pemilu. Yah, meski ada yang mengatakan Bawaslu terkesan letoy dan hanya bertindak secara sporadis. Pihak yang ditindak juga telanjur berkepala padas, sih. Aku pernah baca berita dengan judul kira-kira begini: “Baliho Kampanye Dicopot, Caleg Hajar Anggota Satpol PP”. Rasanya tak perlu lagi aku menerangkan isi berita itu. Terlepas dari segala permasalahan yang berkelindan dalam proses pemilu ini, demi menjaga perasaan KPU yang tentu sudah menghabiskan banyak dana yang berasal dari pajak masyarakat untuk menyebarluaskan pengumuman ihwal Pemilu 2014, aku memutuskan untuk menjadi “pemilih cerdas” yang “memilih untuk Indonesia” dalam “pemilu berkualitas” menurut tafsiranku sendiri. Ketimbang tidur saat hari pemungutan suara, aku akan bangun pagi, mengenakan kaos bertuliskan “Damn I Love Indonesia” karena Anthony Kiedis pernah bilang Indonesia adalah negeri yang indah, lalu mencoblos. Siapa yang bakal aku coblos? Rahasia. Yang pasti, semua calon legislator pengin dicoblos, kan? [caption id="attachment_321523" align="aligncenter" width="210" caption="sumber: ikastara.org"]

13919341231148111231
13919341231148111231
[/caption] --Salam bugar--

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun