Mohon tunggu...
Eben Haezer
Eben Haezer Mohon Tunggu... Jurnalis -

wartawan -- doyan jalan-jalan -- agak susah makan

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Harga Premium Turun Lagi. Bagaimana Tarif Angkot?

16 Januari 2015   22:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:00 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Presiden Joko Widodo alias Jokowi, kembali mengumumkan penurunan harga bahan bakar minyak jenis premium dan solar.

Dikutip dari kompas.com (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/01/16/142040326/Harga.Premium.Turun.Menjadi.Rp.6.600.Per.Liter),terhitung mulai Senin (19/1/2015), harga premium turun menjadi Rp 6.600 per liter. Sedangkan harga solar turun menjadi Rp 6.400 per liter. Penurunan ini adalah yang kedua kali dilakukan setelah pada awal Januari 2015 lalu turun dari Rp 8.500 mejadi Rp 7.600.

Tampaknya pun, naik turunnya harga ini tidak akan menjadi yang terakhir di tahun ini. Sebab menteri ESDM menyatakan bahwa penetapan harga BBM akan diatur setiap dua pekan sekali.

Lalu bagaimana dengan tarif angkutan kota?

Sudah menjadi hal yang sangat umum bahwa selama ini setiap kali terjadi kenaikan harga BBM, para pengusaha angkutan umum dan sopir berteriak-teriak, mendesak agar pemerintah daerah menetapkan kenaikan tarif penumpang.

Selama kebijakan kenaikan tarif itu belum diteken, para sopir kerap mengambil kesempatan untuk memancing di air keruh. Di jalanan, para penumpang dikenai tarif baru yang persentasenya jauh lebih besar dari kenaikan harga BBM itu sendiri. Tak tanggung-tanggung, kenaikannya bisa mencapai hampir dua kali lipat dari tarif yang berlaku sebelum harga BBM naik.

Seorang kawan pernah mengeluh kepada saya. Setelah harga BBM naik dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500, angkot langganannya memberlakukan kenaikan tarif sebesar Rp 2.000. Artinya, setiap satu penumpang menanggung kenaikan seliter bensin. Tetapi setelah harga BBM kembali diturunkan menjadi Rp 7.600, tarif angkot yang sama tetap tidak berubah. Alasan sopir, harga spare part tidak ikut turun.

Perubahan harga BBM setiap dua pekan sekali memang tidak selalu diikuti oleh perubahan harga spare part kendaraan. Kalau harga BBM naik hari ini, harga spare part memang bisa ikut naik. Tetapi ketika harga BBM turun, harga spare part tidak lantas ikut turun.

Harga BBM, harga spare part, serta biaya perawatan kendaraan, memang komponen yang paling berpengaruh terhadap pengeluaran perusahaan penyedia layanan angkutan umum. Tetapi komponen yang paling besar tetaplah BBM. Maka ketika harga BBM turun, pengusaha penyedia layanan angkutan umum harusnya bersikap fair. Tarif penumpang harusnya diturunkan.

Tentang hal ini, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Sofyan Djalil mengaku sudah punya solusi. Dia menyebutkan bahwa nantinya penentuan tarif angkutan umum akan ditentukan berdasarkan harga batas atas dan batas bawah. (sumber : http://economy.okezone.com/read/2015/01/16/19/1093109/harga-bbm-berubah-tarif-angkot-diberikan-batas-atas-bawah).

Tetapi bagaimana menteri menjamin solusi penentuan tarif berdasarkan harga batas atas dan batas bawah ini bisa efektif pelaksanaannya di lapangan? Selama ini, para penumpang angkutan kota tidak memiliki daya tawar saat berhadapan dengan sopir-sopir yang menarik ongkos semaunya sendiri. Kalau perlu, penumpang dibuat takut dan dipaksa membayar sebesar kemauan si sopir.

Tentang itu, saya pernah menjadi korbannya. Tetapi karena ancaman akan saya laporkan ke Dinas Perhubungan dan LLAJ, si sopir akhirnya menyerah dan berhenti memaksa saya membayar tarif sebesar yang dia inginkan.

Di lapangan, selama ini belum ada layanan yang membantu para penumpang untuk mendapat kepastian bahwa tarif angkot yang dibebankan kepadanya tidak melanggar aturan. Para penumpang tidak banyak yang tahu kemana harus melapor ketika ada sopir-sopir angkot yang nakal. Paling gampang mengadu ke wartawan dan berharap keluh kesahnya bisa dimuat di media massa.

Tetapi sampai kapan masyarakat harus terus mengadu ke wartawan? Pemerintah di daerah harusnya membuat sebuah mekanisme dan sistem yang memastikan konsumen pengguna layanan angkutan umum dilindungi hak-haknya. Kalau perlu, pelanggaran yang dilakukan oknum sopir, bisa membuat pemerintah mencabut izin trayek jalur angkot tersebut. Dengan demikian, sopir tak akan berani lagi bermain nakal.

Mengingat saat ini kemacetan di jalan semakin luar biasa karena padatnya kendaraan yang mengaspal, masyarakat memang seharusnya diarahkan untuk menggunakan angkutan publik. Tetapi bagaimana mungkin masyarakat mau diarahkan ke sana apabila tidak ada jaminan bahwa layanan yang mereka terima adalah layanan yang adil, aman, nyaman, dan memuaskan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun