Mohon tunggu...
Eben Haezer
Eben Haezer Mohon Tunggu... Jurnalis -

wartawan -- doyan jalan-jalan -- agak susah makan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merawat Perdamaian di Era Informasi

31 Agustus 2016   11:49 Diperbarui: 31 Agustus 2016   11:57 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mencabut Akar Kekerasan

Lantaran internet dan media sosial adalah medium semata, maka pada dasarnya upaya menciptakan hubungan antaragama yang hangat mesti dimulai dari mencabut akar kekerasan. Lagi-lagi, ini bukan upaya yang mudah namun wajib untuk didorong perwujudannya. Upaya ini tidak mudah karena pada dasarnya kekerasan adalah salah satu sifat alamiah manusia. Menurut filsuf Ibnu Khaldun misalnya, manusia pada dasarnya memiliki sifat hewaniah. Dalam itu, ada kecenderungan manusia untuk menggunakan cara-cara “hewan” dalam memperjuangkan tujuannya. Cara-cara ini kerap kali mengesampingkan fakta bahwa pada dasarnya setiap orang juga tidak ingin disakiti, dan yang lemah ingin pula dilindungi.

Meski kekerasan pada dasarnya adalah naturmanusia, namun ini bukan berarti tidak ada harapan sama sekali. Filsuf Thomas Hobbes pernah mengatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah serigala bagi sesamanya (Homo Homini Lupus). Tetapi Hobbes tidak sekaku Ibnu Khaldun. Menurutnya, meski manusia pada dasarnya adalah ancaman bagi manusia lainnya, namun mereka masih memiliki kesadaran dan kemampuan untuk memperhitungkan kekerasan. Artinya, naluri kekerasan yang dimiliki manusia tidak selamanya dimanifestasikan lewat cara-cara yang spontan. Ada perhitungan-perhitungan untung rugi yang dilakukan sebelum naluri kekerasan itu hendak diwujudkan dalam bentuk aksi.  Termasuk ketika hendak menyampaikan ujaran-ujaran kebencian dan provokasi melalui media sosial.

Kalau demikian, lalu apa yang sebenarnya menjadi akar dari setiap konflik dan kekerasan berlatarbelakang agama?

Menjawab pertanyaan tersebut, saya merasa lebih cocok menggunakan formula yang pernah dicetuskan oleh Amartya Sen. Menurut ekonom dan filsuf yang pernah meraih nobel ekonomi tersebut, kekerasan pada dasarnya terjadi karena kegagalan manusia dalam mengelola identitas.

Menurut Sen, setiap individu terlahir tidak dengan identitas tunggal. Satu misal, seorang pemuda beragama Islam yang lahir dan tumbuh di Bali, praktis menyandang identitas sebagai orang Islam dan sebagai orang Bali. Namun karena Bali merupakan bagian yang tak terpisah dari Indonesia, di saat bersamaan pula dia menyandang identitas sebagai pemuda Indonesia.

Dengan kandungan identitas yang beragam ini, maka ketika si pemuda diperhadapkan pada situasi konflik yang melibatkan kelompok Islam dan kelompok Hindu (yang notabene adalah kelompok mayoritas di Bali), maka dia mesti menentukan identitas apa yang hendak dikedepankannya. Identitasnya sebagai orang Islam? Atau identitas sebagai orang Bali? Atau sebagai orang Indonesia?

Tentunya pilihan-pilihan terhadap identitas yang dikedepankannya dalam situasi tersebut masing-masing akan memiliki implikasi logis.  Apabila dia lebih mengedepankan identitasnya sebagai orang Islam, maka potensi berkembangnya konflik akan menjadi lebih besar. Sementara apabila identitas sebagai orang Bali atau sebagai orang Indonesia yang lebih dikedepankannya, maka tentunya yang berpotensi muncul kemudian adalah terwujudnya rekonsiliasi yang menguntungkan kedua belah pihak. Namun mesti dipahami bahwa pilihan untuk mengedepankan satu identitas di atas identitas lainnya, bukan berarti bahwa seseorang mesti menanggalkan identitasnya yang lain.

Dengan pemahaman tersebut, maka untuk mengurai dan mencegah konflik antaragama yang berpotensi tumbuh di era media sosial seperti sekarang ini, setiap orang harus sadar bahwa dirinya menyandang identitas sebagai orang Indonesia. Meskipun dia berasal dari suku Jawa, Batak, Papua, Bali, Sunda, Betawi, Tionghoa, Arab, dan Bugis. Meskipun dia beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, hingga penganut aliran kepercayaan sekalipun, namun identitas sebagai orang Indonesia tetap mesti dikedepankan.

Dengan menumbuhkan kesadaran ini, setiap orang akan berpikir ulang sebelum memutuskan untuk bersikap dalam situasi konflik antarkelompok dan antaragama. Setiap orang akan berpikir ulang sebelum memutuskan untuk menyebarkan propaganda dan kebencian kepada kelompok lain di manapun dan melalui apapun, termasuk melalui media sosial.

Link Facebook : https://www.facebook.com/freakybeee

Link Twitter : https://twitter.com/ebent_

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun