Metode penelitian untuk mengkaji perspektif yuridis filosofis grasi bagi narapidana dapat dilakukan melalui pendekatan berikut:
Pendekatan Kualitatif: Penelitian ini dapat menggunakan pendekatan kualitatif untuk memahami secara mendalam perspektif yuridis dan filosofis terkait grasi. Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk menggali makna dan interpretasi yang lebih luas.
Studi Literatur: Melakukan kajian literatur untuk menganalisis dokumen-dokumen hukum, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, serta artikel dan buku yang membahas tentang grasi. Ini juga mencakup kajian terhadap teori-teori filosofis yang relevan.
Wawancara Mendalam: Mengadakan wawancara dengan narasumber yang relevan, seperti praktisi hukum, pejabat terkait dalam pemberian grasi, narapidana yang pernah mendapatkan grasi, serta ahli di bidang hukum dan etika.
Observasi Partisipatif: Jika memungkinkan, melakukan observasi terhadap proses pemberian grasi di lembaga pemasyarakatan untuk memahami dinamika yang terjadi dan implementasi kebijakan grasi di lapangan.
Analisis Kasus: Mengkaji beberapa kasus grasi yang telah diberikan, menganalisis konteks, keputusan, dan dampaknya terhadap narapidana, serta relevansi dengan prinsip-prinsip hukum dan etika.
Diskusi Fokus: Mengadakan diskusi fokus dengan kelompok-kelompok yang beragam, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat untuk mendapatkan perspektif yang lebih komprehensif mengenai grasi.
Analisis Data: Menggunakan metode analisis tematik untuk mengidentifikasi pola dan tema yang muncul dari data yang dikumpulkan, baik dari wawancara, observasi, maupun studi literatur.
Dengan metode ini, penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran yang komprehensif tentang grasi, baik dari segi yuridis maupun filosofis, serta implikasinya bagi narapidana dan sistem peradilan pidana secara keseluruhan.
Kesimpulan :
Perspektif Yuridis Filosofis Grasi bagi Narapidana menunjukkan bahwa pemberian grasi memiliki dasar yang kuat dalam hukum dan filsafat hukum, sebagai bagian dari hak prerogatif presiden. Grasi bukan sekadar pengampunan, tetapi juga alat untuk mewujudkan keadilan substantif dan kemanusiaan dalam sistem hukum pidana. Dari perspektif yuridis, grasi diatur untuk memperbaiki atau meringankan ketidakadilan yang mungkin terjadi dalam proses peradilan, memberikan kesempatan bagi narapidana untuk mendapatkan rehabilitasi, dan sebagai bentuk pengakuan atas kemungkinan adanya kekeliruan dalam putusan. Secara filosofis, pemberian grasi mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan hak asasi manusia, sekaligus menjadi pengejawantahan negara yang tidak hanya berorientasi pada hukuman, tetapi juga pada pemulihan dan reintegrasi narapidana ke dalam masyarakat.