Makan masakan mama, tidur siang, berenang di bawah sinar matahari, minum kopi hitam setelahnya, berjalan -- jalan sore seakan mengulang langkah kakiku waktu kecil. Dulu setiap sore Papa sering mengajak saya berjalan sore, setelah dia menutup toko. Kami menghirup udara sore yang masih segar kala itu, bunga melati, dan tangan kecilku digenggammnya karena pundaknya sedang menggendong adik.
Jalan yang dulu kami lewati masih sama, tak sedikit juga bangunan yang sudah berubah. Hanya saja, tinggi badan saya sekarang sudah pasti bisa hampir bisa menggapai atap pinggiran toko yang sudah tutup itu. Dulu terasa sangat tinggi dan sekarang sangat mudah untuk digapai.
Masakan mama terasa sangat mahal, tak bisa ku bayar dan waktu untuk berlibur hanya bisa satu minggu. Coba saja, saya bisa seperti ini setiap hari. Masakan apa yang paling enak? Semua yang dimasaknya, karena sebelum masak mama akan selalu tanya mau makan apa? Waktu berlibur hanya sebentar, sayang sekali ma. Sarapan dalam porsi yang lebih besar bisa kurasakan di rumah saja, saya memanjakan lidah dan lebih banyak makan dari biasanya. Karena liburan dan karena sudah pasti masakan mama. Kami berdua juga sarapan sate kambing dan enaknya bukan main.
Membaca buku "Anak Semua Bangsa" karya Pramoedya Ananta Toer, isinya sangat menggugah pikiran. Lagi-lagi tulisan Pramoedya memang ditujukan untuk manusia yang hidup di jaman masa kini. Pemujaan terhadap budaya barat saat ini mungkin sulit untuk dibatasi, buku ini sebagai pengingat. Lebih tajam dari bukunya pertamanya Bumi Manusia, kali ini tokoh utama Minke dalam buku ini menggali lebih dalam tentang identitas dirinya.
Karena membaca buku di depan rumah, maka mau tidak mau saya harus menyapa setiap orang yang lewat. Sebenarnya tidak menjadi keharusan, namun ini yang dulu juga dilakukan kakek dan nenek. Menyapa semua orang yang lewat di depan rumah, terkadang tanpa tahu siapa mereka. Mungkin karena penglihatannya sudah berkurang, setelah menyapa mereka tiba-tiba nenekku bertanya "Siapa yang tadi lewat?" Hahahahaha.
Pagi hari memangkas daun yang mulai menguning dan kering, membenahi akar tumbuhan yang tidak beraturan, membersihkan pot tanaman, memindahkan posisi tanaman ke arah cahaya matahari, rasanya seperti memberikan kehidupan. Rasanya diri ini berguna bukan hanya untuk diri sendiri saja. Menyenangkan hati sendiri ternyata juga bisa dalam bentuk pemberian kepada makhluk lain.
Tidur siang menjadi sedikit tambahan jam istirahat, meski tidak bisa terlalu lama. Namun cukuplah mengistirahatkan diri yang mulai menua ini. Melemparkan badan sendiri ke dalam kolam renang seperti terbang rasanya, badan terasa lebih ringan tanpa beban. Pikiran terasa menjadi bersih, saya bisa melihat sinar matahari yang masuk ke dalam air. Sangat jernih, sudah lama saya tidak berenang di bawah sinar matahari. Badan saya yang dingin tapi terasa hangat karena sinarnya. Pemandangan yang saya lihat di dalam air, seperti keajaiban karena tak semua orang mungkin bisa melihatnya bahkan menikmatinya. Biarkan saja itu menjadi bagian saya.
Kopi hitam juga menjadi pelengkap setelah berenang, iya tanpa gula. Rasa pahit menjadi kemurnian dari rasa kopi itu senidiri, Â yang tak semua orang bisa merasakannya. Apa saya sombong kali ini? Saya rasa tidak, lidahku memang sangat handal untuk mecicipinya. Apa lagi yang ingin saya ceritakan setelah pulang ke rumah?
Pohon-pohon yang hijau menjulang tinggi dan gunung yang sering saya lihat dari kejauhan setiap berangkat ke sekolah dulu, masih sama. Namun rasanya pemandangan yang dulu biasanya saya lihat setiap pagi, kini begitu menakjubkan dan mungkin akan saya rindukan. Saya sengaja memang, sore itu berjalan kaki sendiri melihat -- lihat keadaan sore, apakah udaranya masih sama seperti waktu kecil? Apakah saya akan berjumpa dengan teman-teman lama?
Mungkin karena musim hujan, dan selalu hujan di sini saya teringat masa dulu. Masa di mana yang saya anggap biasa saja, makan bersama keluarga, seharian di rumah, rutinitas itu begitu sangat berharga. Lucunya hujan di Jakarta dan di sini beda, hahahaha. Mungkin karena di Jakarta hujan begitu menghambat ketika mencari uang, namun di sini rasanya memang hujan untuk berlibur.Â