Beberapa minggu lalu saya melihat berita mengenai kasus pertikaian dalam rumah tangga, seorang istri menyiram suaminya dengan air keras karena suaminya menikah lagi. Ada juga berita mengenai seorang istri yang membunuh perempuan lainnya, karena perempuan tersebut memiliki hubungan dengan suaminya.
Ketika saya melihat kolom komentar mengenai berita tersebut dan secara kebetulan yang berkomentar hampir semuanya adalah perempuan. Kebanyakan komentar yang saya baca adalah membenarkan tindakan "menyiram dengan air keras dan membunuh" atas dasar sakit hati, rasa emosional yang tidak terbendung. Jujur, secara pribadi saya sangat takut ketika melihat kolom komentar tersebut, saya takut ketika manusia dalam jumlah banyak menormalisasi kriminal atas dasar rasa sakit hati.
Saya bertanya-tanya, mengapa pada akhirnya seseorang tidak menjadi rasional ketika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Semua hal yang terlihat indah pada sebuah pernikahan seperti pesta, bulan madu, dan hal-hal yang indah berubah begitu saja menjadi kasus kriminal. Ketika rasa yang berbunga-bunga itu berubah menjadi sangat buas. Lantas apakah bisa kita sebagai manusia yang memiliki akal untuk berfikir, kemudian membenarkan tindakan kriminal tersebut atas dasar sakit hati? atas dasar kita tidak bisa mengontrol emosi di dalam diri kita?
Kita tidak bisa mengontrol apa yang dilakukan oleh orang lain, teman, orang tua, saudara, kerabat, bahkan pasangan. Berbicara mengenai pasangan dalam sebuah pernikahan, mungkin rasa memiliki antara satu dengan yang lain begitu besar. Tapi tunggu sebentar, bukankah diri kita ini 100% adalah miliki kita sendiri? Apakah ketika seseorang yang sudah menikah tidak menjadi utuh 100%?
Saya teringat blog yang sebelumnya saya sudah publish dengan judul "Podcast: Cipta, Rasa, dan Karsa Manusia Indonesia" di dalam poadcast itu mengatakan bahwa "Berbicara mengenai emosi dan akal budi, keduanya menjadi dasar dalam diri manusia. Perumpamaan emosi yang tidak terkendali bagaikan olahan daging mentah yang tidak diolah penuh dengan darah, namun emosi yang terkendali bagaikan sashimi yang terlihat lebih rapi dan cantik"
Ternyata emosi itu perlu diolah. Emosi bisa menjadi sebuah karya, bisa menjadi sebuah kekuatan, bisa menjadi sebuah awal yang baru dan mungkin lebih baik? Kita bisa memilih dengan akal. Akal sehat yang bisa menentukan ini benar dan itu salah.
Yang saya ingin saya sampaikan di sini adalah jangan biarkan emosi menguasai akal sehat. Saya begitu sangat resah ketika melihat kedua berita kriminal di atas dan kasus sejenis lainnya. Saya juga tidak membenarkan perselingkuhan, siapa orang di dunia ini yang ingin diselingkuhi? atau disakiti? Saya rasa seorangpun tidak ada. Namun kembali lagi, apakah kita bisa mengontrol orang lain? Jawabanya tidak. Yang bisa kita lakukan adalah mengontrol dan menyayangi diri kita sendiri. Diri kita ini adalah 100% miliki kita, maka berikanlah kebaikan yang berlimpah bagi diri kita sendiri. Sehingga kita tahu betul setiap keputusan yang terbaik untuk diri kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H