Hidup terasa membosankan dan kosong, terkadang kita merasa dipaksa untuk melewati hari-hari yang terasa sama. Kira-kira seperti itu cerita dua manusia di film Lost in Translation. Mereka sangat kesepian di tengah keramaian kota Tokyo. Melakukan pekerjaan dan tidak melakukan pekerjaan seakan sama saja jenuhnya. Bagaimana bisa? Rutinitas menjadi titik jenuh dalam hidup dan membuat kita ingin menjauhinya untuk beberapa waktu. Apa kita bisa benar-benar menjauh? Bagaimana jika rutinitas yang kita lakukan setiap hari adalah hal yang berarti?
Ramainya kota Tokyo tidak benar-benar bisa menemani kesepian, namun pertemuan kedua manusia dengan keresahan yang sama bisa mengatasinya. Siapa sangka bahwa keberadaan orang asing ternyata mampu memberikan makna tersendiri. Ketertarikan antara keduanya seperti magnet yang bertemu begitu saja, mereka membuat dan menyimpan memori. Keduanya sangat menyadari bahwa keberadaan manusia memilki fase dan jawabannya mungkin hanya jalani saja. Beberapa orang memiliki cara untuk menangani fase hidup yang jenuh, beberapa lainnya memberontak. Apakah keduanya benar atau salah? Jika hidup memang sehitam dan seputih itu, kenapa kadang kita diliputi dengan keraguan? Apa jadinya jika waktu itu kita melakukan "A"? Bagaimana jika "B" adalah pilihan yang lebih baik? Kemudian kita memutuskan untuk tidak berencana ke kota "C"? dan sebagainya.
Saya rasa penulis film ini sangat bijak untuk mengatur egonya, alur ceritanya berjalan begitu saja. Keraguan, rutinitas, kejenuhan, melanjutkan hidup dan memberi makna untuk hidup itu sendiri. Semua akan terjadi dalam kehidupan manusia, entah itu dengan siapa, dimana, Â kapan, dan bagaimana.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H