Mohon tunggu...
Febri Fajar Pratama
Febri Fajar Pratama Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Pendidikan Kewarganegaraan

Penulis biasa. Masih butuh banyak belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Jakarta Kembali ke Titik Nol? Relevankah dengan Situasi Jakarta Sekarang Ini Selepas Pilkada?

29 April 2017   17:04 Diperbarui: 14 Oktober 2017   05:48 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : liputan6.com

                    Pilkada DKI Jakarta putaran ke-dua baru saja selesai, namun euphoria dan juga atmosfer nya belum surut sepenuhnya, meskipun pemenang versi hitung cepat sudah ditentukan. Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menjadi pemenang pertempuran sengit untuk perebutan kursi DKI 1. Ahok-Djarot yang digadang-gadang akan menang dalam putaran ke-dua ini pun ternyata tidak mampu menyaingi elektabilitas Anies-Sandi yang tembus 57% lebih di berbagai lembaga survey quick count. Banyak pengamat yang tidak menduga, bahkan kubu pemenangan Ahok-Djarot pun  tidak menduga akan kekalahkan telak yang diperolehnya, terlebih margin atau selisih angka nya sangat jauh. Tentunya hal tersebut menjadi bahan koreksi dan evaluasi tim pemenangan Ahok-Djarot yang selama ini dianggap “perkasa” dibelakang layar untuk melenggangkan langkah pasangan Ahok-Dajarot kembali ke tampuk kepemimpinan DKI yang banyak diperebutkan. Namun ternyata, seperti ada fenomena anomaly, dimana ekspektasi yang diharapkan tak sesuai dengan realita dilapangan, suara yang didapat petahana dibawah batas toleransi kemenangan yang sudah ditetapkan, yakni 50+1. Banyak yang menduga bahwa fenomena kekalahan Ahok ini diakibatkan banyaknya issue dan kampanye hitam yang menimpa pasangan tersebut. Belum lagi kasus penistaan agama yang sudah lama menimpa Ahok. Tapi sebenarnya meski begitu, pada putaran pertama issue mengenai agama ini tak terlalu berpengaruh kuat pada elektabilitas Ahok, fakta nya, pada putaran pertama dia menang telak dari 2 kompetitor lainnya, yaitu AHY dan Anies. Namun pada putaran ke-dua kali ini, tampak jelas bagaimana suara Ahok tergerus dan mengalami pengurangan dari yang sebelumnya diperkirakan akan melebihi 50% suara. Terlepas dari hasil survey sebelumnya dari beberapa lembaga survey yang mengunggulkan Ahok, salah satu lembaga survey kredible yang sempat mengungkapkan fenomena ini menyebutkan bahwa memang survey elektabilitas yang terjadi berdasar pada testimony masyarakat yang ditanya secara langsung tentang siapa pilihan mereka pada Pilkada DKI nanti, kebanyakan orang yang diwawancara, diduga banyak yang menyembunyikan pilihan mereka, sehingga pada saat pelaksanaan tidak heran jika beberapa orang ada yang beralih kepada pasangan Anies-Sandi. Kemudian, bagaimana beberapa issue miring yang menimpa kedua pasangan calon, walopun yang paling gencar dan santer adalah issue dari pasangan Ahok-Djarot seperti merebaknya issue pembagian sembako serta issue pelanggaran kampanye dari program Kartu Jakarta Lansia dan juga dari kasus persidangan Ahok mengenai penistaan agama yang benar-benar mengoyak mental dan elektabilitas yang sudah dibangun. Belum lagi kasus Djarot yang mengunggah video kampanye nya yang kontroversial dan sempat menyinggung kearah isu SARA. Tak hanya itu, ada juga yang menganggap bahwa kekalahan Ahok ini juga diakibatkan kurang solid nya partai pendukung mereka yang ternyata tidak cukup signifikan menyumbang suara untuk kemenangan Ahok-Djarot.

          Selepas riuh pemilihan, pidato kemenangan pun digelar oleh pasangan Anies-Sandi setelah yakin bahwa mereka telah unggul dalam beberapa quick count di kantor DPP Partai Gerindra. Pidato ini pun dibuka oleh ketua umum partai Gerindra, Prabowo Subianto. Pidato yang disampaikan, berintikan tentang bagaimana merekonsiliasi rakyat Jakarta selepas pilkada, serta komitmen mereka untuk menjaga persatuan dan kesatuan di Jakarta. Kemudian, selang beberapa jam, pasangan Ahok-Djarot yang telah mengakui kekalahan berusaha dengan tegar dan lapang dada untuk mengucapkan selamat kepada pasangan Anies-Sandi dan mencoba untuk berkomitmen juga dalam menjaga stabilitas politik di Jakarta selama 6 bulan kedepan. Sikap-sikap seperti ini tentunya sangat patut kita tiru sebagai contoh dari seorang negarawan yang siap untuk menang dan juga siap kalah. Selain itu, saya juga sangat mengapresiasi kinerja Polri dan TNI yang sudah mengamankan  Pilkada DKI Jakarta yang berlangsung damai, tertib dan aman.

          Namun, ditengah kemenangan dan terpilihnya Gubernur baru. Sentimen publik mulai menyerang beberapa program pasangan Anies-Sandi seperti DP Rumah 0% bagi warga Jakarta dan konsep mengenai “menggeser bukan menggusur” yang sempat diungkapkan Anies dan Sandi dalam debat Pilkada DKI. Beberapa kelompok juga sudah mulai menyebarkan rasa skeptis pada pasangan tersebut. Tak ayal, banyak warga Jakarta yang mulai menagih janji-janji dan memberikan ekspektasi yang tinggi pada pasangan Anies-Sandi. Banyak juga media masa, baik cetak dan elektronik yang mengusung judul “Jakarta Kembali ke Titik Nol”. Sebenarnya, relevankah pernyataan tersebut? Mengapa Jakarta harus memulai dari titik nol sedangkan Jakarta punya sejarah panjang dan efek berbagai kebijakan dari mulai gubernur pertama hingga saat ini yang sudah memberikan dampak signifikan pada kemajuan Jakarta. Mengapa seolah terkesan ada pengarahan opini publik yang menjudge bahwa pada kepemimpinan selanjutnya Jakarta dimulai lagi dari 0, sehingga dianggap bahwa kerja keras kepemimpinan sebelumnya hilang dan tidak akan diteruskan lagi jika sudah berganti gubernur. Sentimen seperti ini tidaklah baik bagi perkembangan demokrasi bangsa kita. Belum adanya legitimasi kepemimpinan, namun masyarakat sudah menjudge dan menyebarkan rasa pesimistik pada Gubernur selanjutnya. 

          Tidakkah terlalu cepat untuk menagih janji dari calon Gubernur yang baru 6 bulan lagi akan dilantik? Masyarakat kita saat ini terlalu terjebak sebuah konsep kepemimpinan yang terlahir dari pencitraan semata, terlalu meng-agungkan seorang pemimpin yang dianggap sudah bisa mengobati rasa dahaga akan pemimpin jujur, bersih dan anti korupsi, terlalu melihat segala sesuatunya secara “Physically”, tanpa melihat “Behaviour” nya. Artinya, kita hanya melihat secara fisik, apa yang terlihat oleh mata, tanpa melihat perilaku dan sikap dari pemimpin itu sendiri. Sehingga, terjadilah “Ahokisme” dimana sebagian warga Jakarta mengelu-ngelukan Ahok seolah tidak ada lagi seseorang atau pemimpin lain yang lebih baik daripada Ahok. Tentunya hal tersebut akan menimbulkan ketimpangan, bagaimana tidak? Masih banyak putra dan putri terbaik bangsa yang siap mengabdi menjadi pemimpin dengan akuntabilitas serta kredibilitas yang baik. Terlepas dari latar belakang agama, yang pasti sikap optimisme harus dibangun. “Move On” itu tidak hanya melupakan kejadian yang lalu, tapi juga bagaimana menyongsong kehidupan baru. Jakarta tidak akan dimulai dari titik 0 lagi, tapi Jakarta akan dimulai dari titik terakhir yang akan dilanjutkan untuk dihubungkan dengan titik-titik lainnya hingga tersambung jauh sampai pada muara dari Tujuan Negara kita, yang tertanam dalam falsafah hidup bangsa Indonesia.

Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun