Kedua, banyak dari para orang tua yang selalu memaksakan anak mereka berada di kelas IPA tanpa memperhatikan kemampuan pengetahuan, keterampilan, bakat, dan minat mereka dalam memilih kelas atau jenis sekolah yang mereka inginkan.
Anggapan bahwa rata-rata anak IPA digolongkan sebagai anak yang cerdas juga sepenuhnya tidak salah, namun memaksakan anak mereka ada di kelas tersebut agar terlihat cerdas dan dijamin masa depannya pasti cerah adalah satu klausa yang salah kaprah.
Saat masih ada UNAS (Ujian Nasional), berada di kelas IPA tanpa mempunyai kemampuan, bakat, dan minat, akan menjadi beban pada anak didik bila hasil UNAS mereka tidak memenuhi passing grade kelulusan yang ditetapkan oleh Kemendikbud. Dampaknya dan ini fakta, banyak anak yang saat itu tidak lulus, terpaksa harus mengikuti Ujian Kejar Paket C dari Dinas Pendidikan demi mendapatkan ijazah SMA.
Baca juga : Guru Patut Disalahkan Telah Mengajari Murid Kencing Berlari?
Melihat fenomena tersebut, dimulailah penghapusan bertahap bentuk Kelas IPA, IPS dan Bahasa yang dilakukan oleh Pak Nadiem Makarim sebagai Mendikbudristek bersamaan dengan diluncurkannya implementasi Kurikulum Merdeka dan diterapkan sejak awal ajaran 2021.
Pada prinsipnya, Mas Nadiem ingin menekankan pembelajaran yang lebih fleksibel dan berbasis pada bakat dan minat siswa. Jadi tidak heran bila saat ini, banyak kelas di SMA yang per kelasnya terbagi menjadi tiga (3) sub bagian mulai dari belajar Materi IPA murni, IPS Murni dan Kelas gabungan Materi IPA dan IPS atau Bahasa.
Semua itu untuk memberikan kesempatan pada setiap individu siswa agar berani mengeksplorasi bidang ilmu pengetahuan melalui mata pelajaran pilihan yang sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya untuk mempersiapkan dirinya sendiri menjadi lebih baik dalam studi lanjut dan kariernya.
Apa yang digagas dan dilakukan oleh Pak Nadiem, sebetulnya juga sudah diterapkan di banyak negara seperti Jepang, Australia dan beberapa Negara lainnya di Eropa. Bukan terbagi jelas secara terpisah dalam bentuk Kelas IPA, IPS dan Bahasa, melainkan pada substansi materi pelajaran yang jumlahnya sedikit dan mudah dipelajari oleh anak agar bisa secara bebas diakses dan dikuasai.
Hanya yang membedakan dan ini menjadi kelemahan dunia pendidikan kita, di negara yang disebut di atas, Ujian Nasional tetaplah diadakan untuk dijadikan bahan kajian pemetaan sekolah, pemerataan kualitas pendidikan, pendataan kualitas sekolah di setiap daerah atau sebagai nilai pertimbangan saat memasuki perguruan tinggi.
Anak-anak di sekolah kita belum bisa dilepas secara bebas tanpa memberikan Ujian Nasional sebagai alat ukur dan evaluasi pendidikan. Ujian Kelulusan tidak bisa semata dilepaskan pada sekolah sebagai tingkat satuan pendidikan terkecil. Minat belajar anak menjadi turun dan dampaknya ada perubahan karakter dan perilaku yang buruk pada para generasi muda kita (Strawberry Generation).
Baca juga : Guru Penggerak, Cobalah untuk Berpikir Pesimis!