Dalam keheningan malam kamar paviliun di rumah sakit, sambil duduk di kursi sofa sudut, mataku terpaku pada sosok perempuan renta yang terbaring di tempat tidur pasien dalam keadaan tak berdaya di depanku.
Tangan kurusnya terpasang selang infus dan juga beberapa alat yang terhubung dengan layar monitor untuk memantau detak jantung dan tensi darahnya.
"Huughff" , secara tidak sadar, mulutku mendesah pelan melihat kondisi wanita tua renta itu yang sudah dua hari dinyatakan tidak sadar karena penyakit lemah jantungnya.
Kuletakan gawaiku di sampingku dan mencoba mencari memori indah bersama beliau yang setia menemaniku di masa kecilku dulu. Ingatan itu akhirnya berkelebat ke sana ke mari di dalam pikiranku.
Yang aku ingat kuat pada sosok perempuan itu adalah ketegarannya dalam membantu perekonomian keluarga dengan berjualan nasi pecel setiap pagi di lingkungan perkampungan yang kumuh di pinggiran kota Surabaya.
Racikan resep pecel dari Madiun, kota tempat kelahiran beliau, membuat semua masakannya terasa lezat hingga ludes diserbu para tetangga setiap harinya sebelum tengah hari.
Dulu, selepas siang hari saat aku pulang dari sekolah. jarang sekali aku menjumpai keberadaan beliau di rumah kontrakkan kami yang sangat sederhana dan berdinding semi permanen dari batu bata yang belum diplester semen dengan dipadukan tripleks.
Itu karena beliau terkadang bersepeda ke kampung sebelah karena ada yang keluarga yang membutuhkan pertolongannya. Iya!, beliau adalah ibuku menjadi tukang pijat bayi yang sering dipanggil ke sana sini.
Keterampilan yang diperoleh dari ibunya membuatku tersentuh dan merasa kasihan pada perempuan yang saat ini berbaring  tak berdaya tak sadarkan diri di tempat tidur rumah sakit. Meskipun nenekku sudah berpulang ke Rahmatullah, namun warisan ilmunya tetaplah ditinggalkan dan memberikan manfaat pada ibuku.
"Ibu tidak mencari materi uang berlebihan bila membantu keluarga orang lain untuk memijat bayi mereka, namun hanya berusaha memberi bantuan yang ibu mampu lakukan dan kenapa juga ibu harus malu?"