Berita menyedihkan dari Kota Temanggung, Jawa Tengah tentang murid SMP yang dijadikan tersangka atas kasus pembakaran gedung sekolahnya sungguh memilukan bagi dunia pendidikan kita.
Berdalih telah di-bully oleh teman-temannya di sekolah memantik luapan emosinya dengan melakukan tindakan yang sudah menjurus ke jeratan hukum akibat tidak bisa meredam perasaan marah pada dirinya.
Komisi Perlindungan Anak dan Ibu (KPAI), ikut turun tangan mengawal dan melakukan pedampingan terhadap kasus yang sedang ramai di tanah air ini sampai tingkat pengadilan karena pelaku masih di bawah umur.
Sebagai orang tua dan guru, pasti tidak menginginkan kejadian seperti di atas terjadi pada keluarga atau sekolahnya dengan pembenaran atas dasar alasan apapun.
Untuk mencegah kasus seperti peristiwa di Temanggung itu TIDAK terulang lagi, cobalah untuk mengenali 4 kepribadian anak terlebih dulu agar semua pihak bisa mempunyai pemahaman yang sama dalam mencari akar permasalahan yang memicu mengapa emosi anak didik saat ini bisa meluap tidak terkontrol.
Keempat kepribadian anak seperti yang durujuk oleh situs online DosenPsikologi.com, perlu dikenali untuk kita pihak dalam kelola emosi anak bila ada permasalahan yang bersifat pada penanganan kasus yang dipicu oleh emosi.
Pertama, Kepribadian Sanguinis. Bila diamati, anak didik di tipe ini menyukai penampilan diri dan ingin tampil populer. Rasa percaya dirinya tinggi, periang dan suka kegiatan berkelompok.
Emosi pemilik tipe di atas cenderung santai, kurang serius, antusias, humoris, tulus dan mudah beradaptasi.
Kedua, Kepribadian Melankolis. Anak didik di tipe ini sangat perfectionist atau menyukai kesempunaan dan berpenampilan rapi serta bersih. Rasa ingin tahunya tinggi, tidak mau mengalah dan suka mengatur.
Emosi anak didik di tipe ini analitik dan berlogika tinggi, sangat serius, berfikir mendalam, tekun, cerdas dan punya idealisme yang kuat.
Ketiga, Tipe kepribadian Plegmatis. Mereka yang tergolong di tipe ini biasanya menyukai cinta damai, mudah diatur dan diberi arahan. Penampilannya kalem, tenang, suka mengalah, toleransinya tinggi dan menikmati hidup.
Emosi dari tipe ini rata-rata penyabar, tenang, mudah bersimpati dan pandai menyembunyikan emosi dirinya.
Keempat, Tipe Koleris. Kepribadian anak didik di sini sangat tegas, gemar berpetualang dan suka memimpin. Berkarakter tangguh, tidak mudah mengalah, dan umumnya, tidak suka bersenang-senang.
Emosi mereka di tipe ini cenderung dinamis, super aktif, suka perubahan, tidak emosional dalam bertindak, sportif, dan mandiri.
Setelah memahami kepribadian dan karakter anak atau murid dari tipe yang dimilikinya, maka gambaran akan emosi dirinya juga akan tampak sehingga orang tua atau guru akan mampu kelola emosi anak untuk mencegah agar tidak out of control.
Apa Faktor pemicu emosi anak lepas kendali?
Bila ada pertanyaan seperti tersebut di atas, jawabannya bisa dikelompokan dalam 2 klasifikasi, yaitu :
1. Faktor Internal. Itu adalah pemicu yang ada dalam diri anak itu sendiri. Misalnya tingkat Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ).
Bisa juga, Mood Swing (Sering berubah kepribadian), Self Esteem (harga diri), dan Introvert (kepribadian tertutup).
2. Faktor Eksternal. Pemicu emosi anak atau murid dari faktor luar sebagai misal adalah Cuaca, ekonomi, pekerjaan, timpang kenyataan dan harapan yang ada, budaya, adat, bahasa dan fisiologi.
Juga, topografi tempat tinggal, ancaman atau bencana yang datang dan perubahan kebijakan seperti suhu politik serta lainnya.
Kesimpulannya, setiap orang khususnya anak dan murid, semua pasti pernah mengalami lepas kendali akan kontrol emosi, sehingga mengartikulasikan letupan emosi itu melalui bentuk verbal (ucapan) seperti berteriak atau menangis keras.
Sedangkan yang lainnya bisa dalam bentuk Non Verbal (perilaku / tindakan) seperti berkelahi, memukul atau seperti kasus pembakaran gedung sekolah di Temanggung di awal artikel ini.
Bagaimana dengan anak kecil?
Mereka juga mempunyai emosi yang kadang diekspresikan dengan Tantrum, yaitu ekspresi marah dengan menangis meraung, tidur-tiduran di lantai, bergulung-gulung di tanah, meronta-ronta serta menahan nafasnya sendiri sampai wajahnya memucat dan berkeringat.
Itu semua karena mereka belum mampu mengekspresikan bentuk kemarahannya secara logis yang tidak tahu akan dampak baik buruknya akibat dari rasa marahnya yang lepas kendali itu karena tingkat kecerdasannya yang masih rendah.
Guru, orangtua dan masyarakat juga harus memahami bahwa mengenali semua pemicu bentuk kemarahan dan sering disebut sebagai 'provokasi' seperti kasus bullying atau perundungan sebagai prima causa haruslah bisa dicegah dengan banyak pendekatan, baik agama, pendidikan, olahraga atau bentuk positif lainnya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H