"Saya tidak mengerti di mana bagian yang saya tidak paham itu, saya sendiri juga tidak tahu!"
Nah, tuh! Bagaimana respon kita bila ada yang menjawab dengan kalimat seperti itu saat seseorang mendapat pertanyaan apakah sudah memahami, mengerti atau mengetahui dari materi, topik atau isu yang menjadi topik bahasan.
Sepertinya terdengar aneh juga, namun hal itu sering terjadi pada saat pembelajaran di kelas, di seminar, pelatihan atau workshop dan sesi diskusi. Betapa sulitnya untuk membuat atau memberikan berbagai pertanyaan atas topik bahasan yang baru disampaikan.
Guru sebagai pemberi materi di kelas, terkadang setelah menyampaikan agenda pelajaran, se isi kelas hampir tidak ada yang bertanya sampai batas waktu sesi tanya jawab hampir usai. Bila ada pun, terkesan menggugurkan kewajiban alias pertanyaan yang ada dianggap tidak berkualitas.
Perlukah pertanyaan disampaikan?
Bila mencermati akan narasi bahwa kita sebaiknya memberikan pertanyaan bila tidak paham atau tidak tahu akan materi yang diterima seperti pembelajaran, seminar atau lainnya dan dilihat dari konteks tempat, seperti kelas, aula, gedung pertemuan dan lain sebagainya, maka jawabannya adalah "perlu".
Pertanyaan yang diberikan oleh pemateri atau peserta akan topik bahasan menyebabkan kedua belah pihak memberikan pertanyaan dengan tujuan yang berbeda-beda tergantung dari situasinya.
Pertama. Pertanyaan dianggap tidak berkualitas saat diberikan hanya untuk menggugurkan kewajiban dan jawabannya pastilah normatif dan bisa didapatkan oleh siapa saja baik dari si pemberi materi topik bahasan atau si penerimanya.
Kedua. Pertanyaan sebagai feedback (umpan balik), yaitu pemateri memberikannya untuk mengukur sejauh mana pemahaman dan penguasaanakan materi bahasan yang telah disampaikan pada si penerimanya.