Mohon tunggu...
Eko Slamet Aryadi
Eko Slamet Aryadi Mohon Tunggu... -

Seseorang pemikir yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Raungan Klakson dan Binatang Bernama “Manusia”

29 Juli 2012   00:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:30 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pukul 06.50. Jalan Kalianak mulai penuh sesak. Kaum urban yang entah darimana datangnya, tumpah ruah. Menyesaki jalanan yang tidak begitu lebar; meski nyatanya jalur tengkorak pemakan korban tersebut telah mengalami banyak proses perbaikan dan pelebaran.

Klakson motor-motor dan mobil-mobil melengking-lengking memekakkan telinga. Seakan-akan suara itu berusaha mengungkapkan keluh kesah perut para pengendara. Begitulah sebenarnya suasana hati dan perut mereka-seperti bunyi klakson: "tin, tin, tin, ..." penuh emosi dan amarah. Tak sabar menunggu giliran sebagaimana hukum alam yang telah diatur di jalan raya. "Entah mengapa?"

********

5 April 2012, sekitar pukul 16.30 sore. Sepanjang Basuki Rahmat-Blauran-Pasar Turi-Demak. Jalanan penuh sesak. Mungkin si pemberi komando yang entah datangnya darimana sudah tiba dan memberikan titah. Sepeda-sepeda motor, mobil-mobil, truk-truk, dan trailer-trailer berbaris simpang melintang tidak karuan menyesaki jalanan. Motor-motor nyeludur melewati lubang-lubang tikus tanpa pertimbangan dan kehati-hatian yang benar-benar dipikirkan. Mobil-mobil angkutan umum sialan pun tak mau kalah. Sesekali lubang-lubang tikus pinggir jalan mereka buntu-sambil ngetem kali-kali ada penumpang yang mau diturunkan-atau malah menunggu jemputan di tepian trotoar.

Terlihat mobil-mobil milik para borju melintas. Box-box berjalan yang hanya berisikan satu atau dua orang penumpang itu mendadak emosi marah-marah tidak jelas dan salah tingkah melihat ulah para pengendara yang seenaknya. Para supir truk dan trailer pun sama-tidak kalah marahnya; Mereka mungkin takut barang-barang bawaanya tidak sampai tepat waktu, lalu bos mereka marah.

Begitulah! Klakson-klakson melengking-lengking memekakkan telinga. Tidak pernah tahu siapa yang memberi perintah untuk keluar pada jam yang sama. "Apa sekedar karena emosi, masalah perut, prestis untuk pamer sebuah harta benda, atau lainnya, entahlah?"

Di Jalan Demak, terlihat beberapa pengendara sepeda angin (yang mungkin) ingin juga ikut mencoba peruntungan mereka di urat nadi lalu lintas pinggiran Surabaya yang penuh sesak. Surabaya, kota pahlawan dan kota buaya, memang berencana mendirikan jalur khusus sepeda. Tapi, begitulah. Para pengendara sepeda angin tiba-tiba menjadi ciut nyalinya Mereka turun dari sepeda. Mengangkatnya ke atas trotoar, lalu, menuntunya-menghindari sesak jalanan yang tidak jelas ujung pangkalnya.

********

Pukul 17.15 sore. Tanjung Sari, tempat pabrik-pabrik penuh buruh berdomisili. Jalanan di sekitar Tanjung Sari dibanjiri di kanan dan kiri. Di depan Sumber Mas, arus lalu lintas jadi semakin deras. Para urban penghuni pabrik penuh serbuk dan asap tumpah ruah penuh suka cita memenuhi ruas kanan dan kiri jalanan. Tak peduli seberat apa pun beban kerja yang mulai merambat dan berubah menjadi penat, semuanya terlihat berseri-seri saat berbagi. Warung-warung kecil pingir jalan dijejali dan disesaki para pembeli: buruh-buruh yang sudah letih.

Lalu lintas pun semakin padat. Merayap. Tubuh mulai dirambati penat. "Tapi awas! Jangan sampai hilang pandangan barang sekelibat. Bisa-bisa jalanan yang padat akan membuat hidup menjadi tamat." Masalah perut? Lagi, klakson-klakson terdengar. Meraung-raung memekakkan telinga.

Di persimpangan tiga Tanjung Sari-Tandes-Banyu Urip, lalu lintas (seharusnya) berbagi. "Tapi, kenapa lampu merah malah diserobot? Kenapa nada-nada klakson penuh emosi makin menjadi-jadi? Apa sangkutan masalah perut membuat mereka 'nyeludur' tak tahu diri? Hingga kadang sebagian pengendara 'jagoan pemberani' tergeletak konyol. Mati."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun