Mohon tunggu...
Eko Slamet Aryadi
Eko Slamet Aryadi Mohon Tunggu... -

Seseorang pemikir yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Acara Hiburan dan Hegemoni Kebudayaan Bangsa

12 Oktober 2013   09:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:39 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Sebuah bangsa tanpa pengetahuan akan sejarah, tempat asal, dan budaya masa lalu mereka tak ubahnya sama seperti sebuah pohon tanpa akar”—Marcus Garvey

Kolonialisme memang sudah enyah dari bumi Indonesia. Banyak orang mengira bahwa segala bentuk penjajahan sudah tidak ada di dunia. Tapi tahukah anda bahwa para penjajah telah kembali berusaha menanamkan hegemoninya?

Globalisasi dengan kerangka universal dan semangatnya yang semakin menggelora di seluruh dunia telah memfasilitasi para imperialis untuk mendapatkan jalan kembali untuk mengklaim hegemoni mereka atas dunia. Dalam era ini, informasi telah menjadi pemegang utama kendali. Siapa yang memiliki informasil ebih dan terkini pastilah bisa memprediksi dan memegang kendali kemana zaman ini akan berlari.

Dengan dukungan teknologi canggih saat ini, informasi-informasi teraktual bisa didapat dalam hitungan menit bahkan detik oleh siapa, kapan dan dimana saja. Bagi masyarakat di negara dunia ketiga seperti Indonesia, televisi nampaknya masih menjadi sumber utama untuk memperoleh sumber informasi. Hal ini dikonfirmasi oleh hasil penelusuran lembaga pengukur jumlah pemirsa televisi, Nielsen Audience Measurement. Menurut lembaga ini selama tahun 2012, 94 persen orang Indonesia menggunakan televisi sebagai sumber media informasi mereka. Dari pemaparan data yang lebih lanjut diketahui juga bahwa sinetron dan acara hiburan menempati urutan pertama dan kedua sebagai acara paling digemari penikmat televisi Indonesia. Selama setahun pemirsa Indonesia menghabiskan 197 jam atau setara dengan 24 persen dari jam menonton untuk menyaksikan sinetron. Sedangkan untuk untuk menonton acara hiburan seperti ajang pencarian bakat, pemirsa Indonesia menghabiskan 168 jam atau setara dengan 20 pesen dari jam menonton.

Terlihat rata-rata selama setahun masyarakat menghabiskan hampir 50 persen jam menonton mereka untuk menyaksikan acara-acara bermuatan hiburan. Setiap hari keluarga Indonesia dijejali hiburan-hiburan yang minus akan muatan nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi akar identitas nasional. Hegemoni budaya lokal yang harusnya mengakar dan berkuasa penuh di negeri sendiri malah hampir-hampir terlindas perubahan zaman. Padahal dalam sebuah acara hiburan, apapun bentuknya, pastilah mengandung muatan-muatanyang ingin disampaikan. Di dalamnya bisa jadi sudah disisipi pemrograman sebuah ideologi tertentu yang sengaja dikemas secara apik.

Seribu satu macam hingar-bingar dalam ajang pencarian bakat dan gaya hidup sehari-hari yang disuguhkan di tayangan sinetron telah sukses membentuk stereotip dan standar pola pikir masyarakat Indonesia modern yang hedonistik dan selalu berpangku tangan terseret arus kebudayaan global. Tak hanya itu melalui acara-acara hiburan tersebut masyarakat seolah-olah dididik untuk mengikuti pola hidup kebarat-baratan yang konsumtif dan serba instan yang sering dipertontonkan. Parahnya lagi, di banyak sinetron misalnya, masyarakat sepertinya juga sedang berusaha dididik bahwa untuk mendapatkan apa yang diinginkan dalam hidup segala cara menjadi halal untuk dilakukan. Karenanya tidak mengherankan jika saat ini identitas dan moralitas bangsa ini semakin hari semakin memudar.

Lebih digandrunginya acara-acara hiburan yang minus akan nilai-nilai kearifan lokal menunjukkan bahwa secara tidak sadar bangsa kita sebenarnya sedang kembali dijajah. Acara hiburan yang sengaja disuguhkan dengan manis tak ubahnya sama seperti candu. Di balik hiburan dan kesenangan yang ditawarkan tersembunyi “racun-racun ideologi” yang jika dikonsumsi secara berkelanjutan akan berakibat fatal. Ketikase seorang sedang menikmati hiburan, tanpa sadar dia akan terlena dan hanya terfokus pada hiburan yang disuguhkan. Akibatnya, secara psikologis, pikiran seseorang akan dengan mudah disusupi oleh pemrograman ideologi tertentu yang memang sudah dengan sengaja disisipkan.

Jika waktu zaman sebelum merdeka segenap elemen bangsa bersatu dan berjuang melawan penindasan pemerintah kolonial. Penjajahan di era saat ini sama sekali berbeda—nyaris tanpa perlawanan. Dicermati dari kacamata teori hegemoni Gramsci, fenomena yang terjadi saat ini adalah pergeseran hegemoni dari budaya lokal yang dianggap ketinggalan zaman ke budaya populer yang berkali-kali lipat dianggap lebih ngetrend. Di sini, untuk mencapai kepentingan tertentu, sekelompok golongan tertentu sengaja menanamkan false consciousness 'kesadaranpalsu' pada sekelompok target tujuan. Melalui kesadaran palsu, para target tanpa sadar dibuat agar melihat segala sesuatu di dunia seperti apa yang dikehendaki oleh si “penjajah kebudayaan.”Melalui kesenangan yang disuguhkan, bentuk baru dari penjajahan sebenarnya sedang menyusup dengan persetujuan penuh warga masyarakat yang kewaspadaannya berkurang bahkan hilang karena terfokus hanya pada hiburan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun