Mohon tunggu...
Endang Artiningsih
Endang Artiningsih Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Yakin, do'a akan selalu di ijabah, sekarang atau nanti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan Kedua

4 Juli 2012   12:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:17 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mbak, aku langsung aja ya", tanpa basa basi perempuan itu memulai percakapan yang sudah sedari siang direncanakan. Aku hanya bisa tertegun dan mengiyakan sambil tersenyum, sementara sosok laki-laki yang menjadi bagian dari objek pembicaraan hanya diam saja. Perempuan itu yang adalah istri dari sosok lelaki yang duduk dibalik kemudi melanjutkan pembicaraannya. "Mbak, saya cuma mau menyampaikan kepada mbak, bahwa sejak mbak masuk dalam kehidupan kami, komunikasi saya dengan ayahnya tidak baik". Aku hanya terdiam mendengar penuturannya, "selama ini mungkin mbak mendengar dari ayahnya bahwa komunikasi kami baik-baik aja, kenyataannya nggak seperti itu mbak" perempuan bernama Fiani itu melanjutkan.

kkambil mendengarkan penuturan mbak Fiani pikiranku melayang pada kejadian siang tadi. Dimana telepon dari mbak Fiani jujur saja membuat aku terkejut, karena sudah agak lama kami tidak berkomunikasi. siang tadi mbak Fiani telepon meminta bertemu ddnganku karena tidak ingin apa yang mengganjal dihatinya terus ada.

"Ya...itulah mbak yang ingin saya sampaikan." setelah menyampaikan apa yang dirasakannya mbak Fiani terdiam. Setelah mendengarkan apa yang disampaikan mbak Fiani, aku mengajukan pertanyaan, "Sebelum kita melanjutkan pembicaraan imi. aku mau tanya pada mbak, apa yang mbak harapkan dari hasil pertemuan kita ini." Mendengar aku bertanya seperti itu mbak Fiani hanya menjawab, "Aku ndak mau apa-apa, aku hanya mau mbak tahu bahwa sejak mbak masuk, komunikasi aku sama ayahnya tidak baik."

Mendengar jawaban mbak Fiani seperti itu aku berkata, "Kalau hanya itu yang mbak mau sampaikan, aku sudah tahu karena mbak sudah beberapa kali menyampaikannya ke aku lewat telepone." Aku berkata seperti itu sambil memandang wajah mbak Fiani untuk melihat perubahan pada wajahnya atas perkataanku.

"Ya ndak tahulah mbak...aku juga ndak tahu apa yang aku mau sekarang ini, yang pasti aku mau setelah malam imi atau tepatnya setelah pulang ke rumah ayahnya ndak marah-marah atau sinis lagi ke aku." Selama mbak Fiani berbicara, aku hanya memandangi wajahnya tanpa sedikitpun aku melihat ke sosok laki-laki di depan. Sosok lelaki yang menjadi pembicaraan kami adalah sosok lelaki yang baik menurut aku, yang menjalani kewajibanya sebagai seorang suami dan ayah yang sangat baik. Lelaki ini sangat mencintai mbak Fiani istrinya tapi juga mencintai aku.

"Mbak Fiani..." aku berkata setelah tidak terdengar lagi suara dari mbak Fiani.

"Kalau mbak ndak tahu apa yang mbak inginkan dari pertemuan ini apalagi aku...."  karena tidak ada sahutan dari mbak Fiani maka aku melanjutkan, "Kalau hanya seperti ini sebaiknya tidak melibatkan aku, karena komunikasi mbak dan mas..(aku memanggil lelaki itu dengan mas) baik atau tidak, enak atau tidak, hanya mbak dan mas saja yang bisa mengusahakannya. "Iya...tapi mbak terlibat di dalamnya, makanya aku mau ketemuan sama mbak buat menyampaikan hal ini, bahwa komunikasi akumtidak baik dengan ayahnya, jangan mbak kira kami baik-baik saja." mbak Fiani memotong ucapanku.

Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan lagi ke mbak Fiani, karena hampir satu jam kami berbicara, pembicaraan ini hanya bolak balik kepada kalimat yang sama.  Sampai akhirnya aku berkata, "Ok...apa mbak ingin aku pergi dari kehidupan mas seperti 20 tahun yang lalu, atau mas nya yang harus melupakan aku?  Mendengar apa yang aku katakan mbak Fiani menyahut, "Oh ndak mbak...aku ndak pernah berpikir seperti itu, aku sudah tahu kalau ayahnya akan kawin dengan mbak, aku cuma mau komunikasi aku dengan ayahnya kembali seperti dulu."

Kembali mbak Fiani mengucapkan keinginan yang sama yang sudah diucapkan berulang-ulang, dan aku hanya bisa tersenyum mendengarnya sambil melihat ke sosok lelaki di depan, yang ternyata sedang melihat ke aku dan mbak Fiani secara bergantian. Aku hanya bisa nyengirmkuda dan berkata,"Ayo mas...mbak...naikan dongg...berpelukan dong kayak teletabis....".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun