Mohon tunggu...
Nevi Puspitorini Nugrahaningtyas
Nevi Puspitorini Nugrahaningtyas Mohon Tunggu... pegawai negeri -

http://www.myearthheart.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bukan Saatnya Diam....

13 Desember 2013   11:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:58 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bukan saatnya diam. Benar bukan saatnya lagi kita berdiam diri tanpa melakukan sesuatu yang berarti bagi perubahan. Ini semua berawal ketika berita seorang mahasiswa atau bisa disebut sebagai calon mahasiswa karena sudah keburu meninggal, karena OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus). Pemuda itu bernama Fikri, yang mati sia-sia. Catat, SIA-SIA. He died for nothing.

Ospek dijaman sekarang, jaman orang sudah mulai melek pendidikan (harusnya), sudah bukan realible lagi untuk dijalankan. Tetapi saat ini, disaat sudah banyaknya program-program pembentukan karakter (Character Building) yang ditawarkan dimana-mana atau pembentukan kreatifitas dalam bentuk kegiatan outdoor maupun indoor, dan juga banyaknya motivator (yang jelas dan yang tidak jelas), ternyata hal ini belum mampu me'melek'kan mata para pendidik dan pembuat sistem pendidikan kita. Sungguh patut disayangkan. Ketika Bapak Rheynald Kasali menyampaikan tentang Encouragement , mungkin sudah banyak orang-orang  yang mengetahui entah dari membaca atau mendengar ataupun melihat, tetapi apa? couragement itu menjadi hanya semacam teori di otak, tetapi nol dalam prakteknya.

SK Dirjen Dikti No. 38/DIKTI/Kep.2000 Tanggal 26 Pebruari 2000 mungkin saatnya ditinjau kembali. Karena ternyata peraturan tersebut tidak sepenuhnya dijalankan. Abu-abu, begitu istilah seorang reporter televisi swasta saat mengulas tentang kematian Fikri, atas peraturan itu, ketika anjuran Ospek boleh dilaksanakan ataupun tidak dilaksanakan asalkan tidak ada kekerasan didalamnya. Siapa yang bisa menjamin Ospek itu tidak ada kekerasan? Seharusnya Institusi yang menaunginya, dalam hal ini  adalah Kampus (Rektor, Dekan, Dosen dan lain lain). Tetapi ketika ada korban dari pelaksanan Ospek, apa jawab dan kata mereka? Dagelan. Ya, dagelan, yang dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai lelucon. Jawaban mereka seakan-akan menjadi dagelan lawakan di pentas-pentas komedi/parodi seni Jawa dimana akan terlihat saling lempar tanggung jawab, untuk mencari siapa yang paling pas dihukum dan disalahkan. Miris, sungguh miris.

Ospek adalah Orientasi Pengenalan Kampus juga telah bertransformasi kedalam bentuk yang lain. Kegiatan-kegiatan sebagai pra anggota sebelum resmi menjadi anggota suatu perkumpulan, atau Sekolah-Sekolah kepada murid baru SMP atau SMA juga melakukan hal yang sama  seperti Ospek ini. Mereka, para murid baru ini akan 'dikerjai' oleh seniornya (kakak kelas), untuk mematuhi semua 'perintah' kakak kelas, dengan tugas-tugas yang 'aneh dan tidak jelas' maksud serta tujuannya. Beberapa kawan berpendapat bahwa hal itu dimaksudkan agar para murid baru itu tidak menjadi murid yang manja. Tetapi kewajiban menyadarkan 'murid manja' bukan ada pada kakak kelas atau seniornya. Dan bukan dengan kapasitas memberikan 'tugas-tugas aneh' . Ini menjadi salah kaprah menurut hemat saya. Dan kemudian penindasan mulai dilakukan atas nama pembentukan karakter.

Ketika tugas-tugas yang dibebankan kepada para murid baru oleh kakak kelas tersebut harus dipenuhi, para murid baru ini akan mematuhinya. Apa yang dilakukan oleh orangtua dirumah ketika mengingatkan anak mereka agar berusaha biasa atau santai atas tugas itu biasanya tidak diindahkan. Karena apa? karena mereka takut mendapat hukuman dari kakak kelasnya esok paginya. Mereka mengerjakan tugas-tugas yang tidak mencirikan pembentukan karakter sampai malam (karena susahnya item-item atau barang yang disyaratkan), dan harus berangkat pagi-pagi sekali dengan jadwal kegiatan yang padat sampai sore, dimana kegiatan tersebut sering lebih dari 1 atau 2 hari. Lelah dan tertekan akan dialami oleh beberapa anak. Beberapa anak mungkin akan berani melawan tetapi banyak pula yang bukan pemberani seperti yang diharapkan. Bahkan bisa jadi efek keberanian mereka akan menjadi pemicu bullying selanjutnya terhadap mereka setelah kegiatan atas nama pengenalan tadi selasai dilakukan. Dan yang patut disesalkan adalah pihak sekolah yang menyetujui proposal yang diajukan anak didiknya selaku panitia untuk kegiatan "pengenalan murid baru' tersebut. Akan tetapi ketika terjadi kesalahan atau korban, maka pihak sekolah akan berucap bahwa kegiatan yang dilakukan tidak sesuai dengan proposal yang diajukan.

Sudah saatnya untuk tidak berdiam diri. Jaman sudah berubah. Pola pikir dan mindset juga harus dirubah. Siapapun kita, orangtua, pendidik, pembuat sistem harus merubah semua bentuk penindasan dalam hal apapun. Dengan cara mengubah pola pikir anak-anaknya, anak didiknya, mahasiswanya atau siapapun, yang melakukan kekerasan fisik secara langsung ataupun tidak langsung atas nama OSPEK atau apapun namanya. Akan menjadi berbeda ketika konteks pengenalan dan pembentukan karakter ini berada didalam lingkungan militer, karena dalam militer memang diwajibkan untuk tangguh dalam hal fisik maupun mental. Akan menjadi hal yang berbeda dengan murid atau anak yang bersekolah di sekolah umum, mereka adalah masyarakat sipil bukan militer. Ada pendekatan yang lebih humanis dalam pembentukan karakter mereka kelak dikemudian hari, misalkan outbound atau pengembangan kreatifitas dalam bentuk kegiatan yang positip, bukan pemaksaan mematuhi peraturan kakak kelas atau seniornya dengan penuh ketakutan dan embel-embel hukuman. Alih-alih seharusnya Sekolah atau Kampus melakukan pengawasan, tetapi dalam beberapa kasus, Sekolah atau Kampus memasrahkan sepenuhnya kegiatan kepada panitia kegiatan.

Apa yang selama ini telah terjadi seharusnya bisa dijadikan cerminan, mirroring, sehingga tidak terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan. Ketika suatu kejadian ramai terjadi di dunia maya atau diulas di media, baru semua orang terperangah, setelah itu diam dan akhirnya terlupakan. Ada yang melakukan tindakan, seperti petisi yang dicetuskan oleh Jefry Yonathan Letik untuk mengusut tuntas kasus Fikri melalui media online. Tetapi menurut hemat saya, ketika kasus Fikri sudah selesai, apabila aturan tentang pengenalan Sekolah/Kampus tidak benar-benar dihapuskan dan digantikan dengan kegiatan yang benar-benar jelas, pembentukan karakter yang positip tanpa penindasan dalam bentuk apapun ataupun kegiatan pengembangan kreatifitas yang dilakukan oleh Sekolah/Kampus, korban seperti Fikri kemungkinan masih bisa terjadi. Bayangkan seandainya kita dalam posisi orangtua yang begitu senang anaknya diterima di Sekolah/Kampus sesuai yang diinginkan, belum sempat menjadi murid/mahasiswa disana, kemudian meninggal karena acara kegiatan kampus, bisa karena kekerasan ataupun karena kecapekan. Sangat disayangkan dan sungguh patut menjadi perhatian semua.

Jadi, bukan saatnya diam...

Mari kita kampanyekan STOP OSPEK  apapun bentuknya dan bukan hanya STOP KEKERASAN DALAM OSPEK !!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun