Mohon tunggu...
Ear Ekspresi
Ear Ekspresi Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mahasiswa Agen Perubahan?

15 November 2016   15:07 Diperbarui: 15 November 2016   15:41 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahasiswa adalah golongan yang senantiasa diindentikan dengan pembawa perubahan, golongan yang selalu merombak zona nyaman ketidakadilan. Pada Setiap masa mahasiswa membawa perubahan, Bung Karno Cs berjuang merebut kemerdekaan, Soe Hok Gie melontarkan kritik pedas atas kepempinanan Bung Karno, Widji Tukul dan para aktivis ’98 menumbangkan orde baru dan menggulirkan reformasi. Dan saat ini, mahasiswa masih lantang melantik diri mereka sebagai agen perubahan, agen pengontrol dan seterusnya. 

Tanpa ragu mereka menyebut dirinya sebagai pembela kaum proletar dan memusihi para borjuis, kapitalis, dan hedonis. Mereka mengidentifikasi dirinya dengan sebagai golongan yang menyatu dengan golongan yang termarjinalkan dan tertindas, sehingga tak jarang yang menyebut dirinya sebagai orang proletar. Benarkah demikian? ayo kita merenung sejenak, ayo kita lebih jeli melihat kenyataan.

Agaknya kenyataan berkata lain, mahasiswa saat ini justeru membangun dinding pemisah dengan realitas sosial disekililingnya, mereka memfragmentasikan diri dengan lingkungan sosialnya. Sekat tak kasat mata membentengi mahasiswa dengan golongan miskin, marjinal dan proletar. Sekat itu tercipta oleh gaya hidup mereka sendiri, yaitu gaya hidup seorang borjuis dan penuh euforia. Malam dan hari-harinya dihabiskan untuk mengisi bangku-bangku di warung kopi, club malam, dan tempat-tempat hiburan seraya berdiskusi tentang penderitaan dan penindasan. 

Wacana yang bernuansa perombakan dan perlawanan senantiasa menggema di sudut-sudut negeri, namun wacana tinggalah wacana sebab mereka yang berbicara anti penindasan ternyata juga seorang penindas, mereka yang katanya anti kapitalis ternyata juga seorang kapitalis. 

Mereka sebenarnya tidaklah sungguh-sungguh ingin merubah penderitaan menjadi kebahagiaan karena mereka belum benar-benar mengerti mengenai apa itu penderitaan? Penjiwaan dan belangsungkawa akan pahit dan getirnya penderitaan dan ketidakadilan belum benar-benar dirasakan. Bagaiamana mereka dapat berbelasungkawa tentang penderitaan jika hari dan wakutnya habis untuk menyeduh kemewahan dan kesenangan, makanan yang enak-enak, baju yang mewah dan branded adalah pengisi hari-hari mereka, sungguh tindakan yang terdikotomi dengan lidah dan bibir mereka – paradoks yang termat parah. Ratapan serta sumpah-serapah tentang penderitaan hanya buah pemanis bibir atau sekedar untuk mengisi waktu dikala meraka berkumpul. Sungguh ini adalah kondisi yang mengerikan, berbicara tentang pederitaan dan penindasan tapi mereka menjadi salah satu dari sekian banyak penindas.

Simpul permasalahan sepertinya sudah mulai terang tentang stagnasi kondisi sosial saat ini, bukannya perubahan tersendat oleh penguasa, cukong, atau para pemodal, tapi perbuhan itu belum benar-benar tergulirkan. Mahasiswa yang seharusnya berbuat untuk perubahan belum  sungguh-sungguh berbuat, jangankan untuk berbuat bahkan mereka belum benar-benar membicarakan tentang perubahan. Maksud saya adalah bahwa mereka (mahasiswa) hanyalah meratap dan mengumpat ketidakadilan, tapi tidak mencarikan solusi dan langkah-langkah strtegis untuk menghapusnya. Dapat dikatakan upaya merubah apabila diskusi yang dilakukan memiliki alur dan target yang jelas dan rasional, bukan justeru ber-utopia tentang revolusi, kudeta dan seterusnya.

Banyak hal-hal kecil yang dapat dilakukan untuk membawa perubahan, salah satunya adalah menyatu dengan realitas sosialnya, membaur kemudian mencari celah-celah kecil untuk dimanfaatkan guna menggulirkan perubahan besar. Ingat teori Chaos, hal-hal kecil yang menyebabkan hal-hal besar. Langkah-langkah yang dipandang remeh tapi berdampak besar. Tidak perlu menunggu gerakan besar yang melibatkan jutaan massa, sebab cara terbaik untuk memulai sesuatu adalah dengan melakukanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun